Bias serupa pun terlihat di Pasar Modal Indonesia, sentimen negatif pelarangan ekspor CPO menimpa perusahaan-perusahaan emiten  kelapa sawit, yang membuat harga sahamnnya tergerus setelah Jokowi mengumumkan pelarangan ekspor CPO, pada Jumat (26/04/22).
PT. Londom Sumatera Plantation Tbk  drop hingga 6,5 persen dari Rp. 1.440 menjadi Rp.1340 per lembar saham.
PT. Salim Ivomas.Tbk produsen minyak goreng merk Bimoli pun harga sahamnya ikut turun akibat kebijakan tersebut dari Rp.4.730 menjadi Rp.4.580 per lembar saham.
Demikian pula dengan emiten kelapa sawit milik Sinar Mas, PT. SMART.Tbk pemilik merk minyak goreng Filma harga sahamnya juga turun dari Rp.510 menjadi Rp.486 per lembar saham.
Deretan fakta tersebut,menjadi bukti bahwa pemahaman seluruh masyarakat bahwa yang dilarang Jokowi untuk diekspor itu CPO dan produk turunannya bukan RBD palm oil seperti yang diungkapkan Airlangga.
Lagi pula masa Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia tak di briefing  apa itu perbedaan CPO dan RBD palm oil oleh para staf teknisnya sebelum mengumumkan kebijakan tersebut.
Selain itu jika ada yang kurang lengkap dari pengumuman Jokowi terkait larangan CPO tersebut, seharusnya disusul oleh penjelasan menteri teknis terkait beberapa menit setelah Jokowi selesai mengumumkan kebijakan tersebut.
Artinya, yang diumumkan oleh Airlangga Hartarto tersebut memang merupakan kebijakan baru, setelah kebijakan larangan ekspor CPO versi Jokowi banyak di tentang oleh para pelaku industri kelapa sawit.
Sekali lagi Pemerintah harus bertekuk lutut di sudut kerling para taipan kelapa sawit nasional.
Perubahan cepat sebuah kebijakan yang baru dikeluarkan, tak kali ini saja dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi.
Saat kebijakan larangan ekspor batubara diumumkan Jokowi sebagai reaksi kurangnya pasokan pada pembangkit listrik milik PLN.