Akan tetapi jika pasarnya abnormal lantaran ada banyak permainan di dalamnya termasuk "mafia" dan kartel, bisa jadi langkah ini tak akan berjalan efektif sesuai harapan.
Oleh sebab itu kebijakan ini harus secara simultan dilakukan dengan pemberantasan "mafia" dan kartel yang selama ini bermain dalam salah satu produk pangan strategis nasional tersebut.
Di sisi lain, sejumlah pihak seperti GAPKI dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berharap kebijakan larangan ekspor total CPO dicabut kembali karena bisa mengacaukan pasar.
YLKI menyebut kebijakan ini mubazir,karena dalam pandangan mereka larangan ekspor 20 persen saja sudah cukup dengan menggunakan skema Domestic Market Obligation(DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).
Mungkin YLKI amnesia parsial, saat ini kebijakan DMO dan DPO itu sudah diberlakukan, tetapi haailnya sami mawon dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya, minyak goreng masih saja langka dan jika pun ada harganya mahal.
Selain itu, ranah YLKI kan bukan buat mengomentari tata niaganya tetapi lebih untuk memastikan manfaat komoditas tersebut bagi konsumen dengan harga terjangkau dan mudah didapat, tak seperti sekarang ini.
Sementara GAPKI menyebut kebijakan ini akan memberi dampak negatif terhadap pengusaha kelapa sawit.
Oh iya tentu saja keuntungan para pengusaha dari ekspor memang lebih besar dari memenuhi pasar domestik, tetapi mereka kan tak peduli juga saat rakyat menjerit lantaran minyak goreng langka dan mahal.
Makanya, anggaplah ini sebuah hukuman keras dari pemerintah terhadap para pengusaha kelapa sawit yang selama ini egois mementingkan kepentingannya sendiri, asal cuan tak peduli rakyat menjerit.
Toh mereka selama ini juga sudah banyak diuntungkan dengan berbagai kebijakan pemerintah terkait tata niaga kelapa sawot, seperti dalam Program Biodiesel B30.
Jadi saya rasa keputusan Jokowi melaramg total ekspor CPO dan turunannya ini sudah benar dan diharapkan mampu menjaga stok komoditas tersebut dan bisa didapat dengan harga murah.