Kejaksaan Agung telah menetapkan 4 tersangka atas kasus tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah.Â
Keempat tersangka tersebut, ada satu tersangka dari pihak penyelenggara negara yakni, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana.
Sementara dari pihak swasta dalam hal ini produsen minyak sawit ada 3 orang, yang terdiri dari Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager PT. Permata Hijau Group Stanley GA, dan General Manager Departement General Affair PT. Musim Mas , Picare Togar Sitanggang.
Perbuatan keempat tersangka tersebut menurut Jaksa Agung ST Burhanuddin telah menimbulkan kerugian pada perekonomian negara.
"Perbuatan para tersangka tersebut mengakibatkan timbulnya kerugian perekonomian negara atau mengakibatkan kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng dan menyulitkan kehidupan rakyat," kata Burhanuddin,seperti dilansir BBC.Com, Selasa (19/04/22).
Burhanudin mengungkapkan, pola korupsi yang diduga dilakukan oleh keempatnya tersebut melalui pemufakatan antara pemohon dan pemberi izin untuk  menerbitkan persetujuan ekspor Crude Palm Oil (CPO).
Pihak swasta yang merupakan produsen minyak kelapa sawit disinyalir melakukan gratifikasi untuk melancarkan penerbitan izin ekspor yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan.
Lantas siapa sebenarnya pihak swasta yang terlibat kongkalikong sehingga membuat harga minyak goreng di Indonesia meroket?
Menurut sejumlah sumber referensi yang saya dapatkan, PT. Wilmar Nabati Indonesia didirikan pada tahun 1989, sebelumnya bernama PT. Bukit Kapur Reksa.
Perusahaan yang berbasis di Dumai Riau ini merupakan bagian dari grup usaha raksasa kelapa sawit Wimar International Group milik konglomerat asal Sumatera Utara Martua Sitorus dan Kuok Khoon Kong.
Mereka memiliki konsesi perkebunan kelapa sawit yang sangat luas berlokasi di Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia. Untuk mengolahnya mereka mendirikan 160 pabrik dengan mempekerjakan 67.000 karyawan di 20 negara di dunia. namun produksinya fokus di Indonesia, Malaysia, China, India, dan Eropa.
Produk hilirnya berupa minyak goreng kemasan dengan merek dagang yang paling dikenal adalah Fortune dan Sania.
Sementara PT. Musim Mas yang salah satu petingginya kini ditahan Kejaksaan Agung, merupakan perusahaan kelapa sawit terintegrasi terbesar di dunia.
Melansir situs resminya, PT.Musim Mas Berdiri pada tahun 1972 yang berbasis di Medan Sumatera Utara, tetapi saat ini kantor pusat mereka berada di Singapura.
Dari hulu, Musim Mas menanam kelapa sawit untuk minyak mentah dan kernel sawit. Di hilir, Musim Mas memproduksi minyak kelapa sawit untuk sabun, oleokimia, biofuel, dan produk lainnya
Musim Mas merupakan pengekspor minyak sawit terbesar Indonesia, tak heran jika pemiliknya Bachtiar Karim masuk dalam daftar 10 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes dengan kekayaan mencapai US$ 3,5 miliar atau setara dengan Rp. 50,25 triliun.
Di Indonesia Musim Mas mengusung mereka dagang minyak goreng, Sunco, Amago, Voila, Tani dan M&M.
Satu lagi produsen minyak kelapa sawit yang petingginya ditetapkan sebagai tersangka adalah PT Permata Hijau Group,.
Permata Hijau Group memiliki perkebunan kelapa sawit, minyak goreng, industri biodiesel dan oleokimia.Â
Hasil produksi minyak goreng Permata Hijau Grup ini diekspor ke Singapura, Saudi Arabia, Afghanistan dan beberapa negara di Amerika Selatan.
Minyak goreng yang mereka produksi dikemas dalam jerigen ukuran 5 kg atau lebih yang diproduksi dengan metode injection moulding.
Perusahaan milik Robert Wijaya memiliki beberapa anak usaha yakni PT. Permata Hijau Palm Oleo dan beberapa perusahaan pengolahan CPO lainnya, basis usahanya berada di Belawan Medan Sumatera Utara.
Apabila dalam perjalanan perkara ini mereka terbukti bersalah, rasanya sangat pantas jika mereka dihukum maksimal sesuai pasal yang dituduhkan kepada mereka.Â
Menurut Kejaksaan Agung para tersangka tersebut disangkakan melanggar Pasal 54 Ayat 1 huruf a dan ayat 2 huruf a, b, e,f Undang-Undang nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan.
Untuk perkara korupsinya, pihak Kejaksaan Agung akan memakai Pasal 2 dan 3 Undang-Undang tindak Pidana Korupsi. Dengan ancaman hukuman seumur hidup hingga hukuman mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H