Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Cinta Segitiga antara Momen Ramadan, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi Bersemi Kembali

19 April 2022   12:38 Diperbarui: 20 April 2022   16:55 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via Kompas.com

Momentum bulan Ramadan di Indonesia adalah sesuatu yang sangat spesial dan unik. Ramadan di Indonesia tak hanya tentang penguatan sisi spiritual , tetapi beririsan tebal dengan praktik budaya yang mengiringi umat muslim dalam menjalankan ibadah Rukun Islam ke-3 tersebut.

Sejatinya menurut sabda para alim dan ulama, berpuasa di bulan Ramadan dikhususkan bagi umat muslim yang beriman untuk menjalani pelatihan agar mampu mengendalikan hawa nafsu duniawi, dan pada akhirnya mencapai ketakwaan yang hakiki.

Namun anehnya, jika ditilik dari sisi konsumsi masyarakat "mengendalikan hawa nafsu" itu tak terlihat.

Belanja mayoritas  rumah tangga masyarakat Indonesia pada bulan Ramadan meningkat berkali lipat dibandingkan bulan-bulan lain.

Tren konsumsi masyarakat akan terus bereskalasi sangat tajam begitu memasuki bulan Ramadan hingga mencapai puncaknya beberapa hari menjelang Hari Raya Idul Fitri tiba.

Memang dalam dua Ramadan terakhir, 2020-2021 karena pandemi covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia, konsumsi masyarakat di bulan penuh berkah ini tertahan karena sejumlah faktor terutama pembatasan pergerakan manusia untuk menurunkan probabilitas penularan.

Tetapi sepertinya, untuk Ramadan 2022 ini geliat konsumsi masyarakat akan jauh lebih kencang dibandingkan dua Ramadan terakhir, karena saat ini Covid-19 relatif lebih terkendali, sehingga masyarakat lebih leluasa berkegiatan ekonomi meskipun geliatnya belum akan seperti saat pra-pandemi.

Geliat ekonomi saat Ramadan ditopang oleh pendapatan ekstra masyarakat pekerja, berkah dari tunjangan hari raya (THR) yang diterima oleh hampir seluruh tenaga kerja di Indonesia.

Di luar THR yang akan menguatkan konsumsi masyarakat di bulan Ramadan 2022 ini antara lain, guliran bantuan dari pemerintah berupa bantuan langsung tunai (BLT) atau skema bantuan lainnya bagi masyarakat penerima manfaat serta donasi-donasi sosial berbau religius seperti zakat mal.

Efeknya akan mengerek daya beli seluruh masyarakat Indonesia dari mulai kelas paling bawah, menengah hingga paling atas dalam jangka waktu yang pendek dan serentak.

Selain berkaitan dengan hal-hal mikro seperti perubahan pola dan tingkat konsumsi, daya beli, dan berbagai asumsi lainnya. Ramadan lazimnya juga diasumsikan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi di tingkat makroekonomi daerah maupun nasional.

Oleh karena itu Pemerintah kerap menggantungkan asa positif pertumbuhan ekonomi nasional pada faktor musiman seperti Ramadan dan Lebaran ini.

Perekonomian Indonesia selama ini memang didominasi konsumsi masyarakat, menurut data Badan Pusat Statistik komponen belanja konsumsi rumah tangga masyarakat Indonesia sepanjang tahun 2021 mencapai Rp. 9.240 triliun.

Artinya, konsumsi masyarakat berkontribusi sebesar 54,42 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai Rp.16.970 triliun.

Jadi, masuk akal apabila pemerintah sangat berharap Ramadan dan Lebaran 2022 ini menjadi "booster" tren pemulihan dan pertumbuhan ekonomi nasional, seperti diungkapkan oleh Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.

"Kita lihat beberapa spending index masih kita lihat ada peningkatan ke depan. Kita akan mengahadapi bulan Ramadhan yang kecenderungannya adalah peningkatan konsumsi," katanya, seperti dilansir Dttc.co.id.

Lantaran berharap efek Ramadan dan Lebaran pula, Pemerintah dalam hal ini Kemententerian Keuangan memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2022 akan mencapai angka diatas 5,2 persen.

Tak hanya Pemerintah, yang berharap banyak pada momentum Ramadan kali ini, para pengusaha pun setali tiga uang harapannya, mereka berharap dengan status pandemi yang lebih terkendali bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi.

“Kalau kami dari pelaku usaha sangat berharap sebenarnya kalau bisa akhir bulan ini status itu diterapkan, tentu akan lebih baik. Kita ingin memanfaatkan momentum Ramadan dan lebaran ini untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi,” ujar Wakil Ketua Umum Kadin Sarman Simanjorang seperti dilansir Kontan.co.id. Beberapa waktu lalu.

Kendati demikian menggantungkan asa pertumbuhan ekonomi pada konsumsi rumah tangga harus diwaspadai mengingat konsumsi adalah faktor "dipengaruhi" atau dependent ketimbang "mempengaruhi" alias independent.

Pola konsumsi yang tiba-tiba naik tajam secara progresif memang bakal mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produksi di sektor industri makanan dan minuman, industri sandang, pertanian, dan perdagangan.

Namun harus diingat, sisi lain dari konsumsi masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor daya beli, yakni titik tengah antara tingkat pendapatan dan inflasi.

Andai tingkat pendapatan masyarakat tak mengalami kenaikan sementara inflasi terus meningkat, pada akhirnya daya beli masyarakat akan tergerus alhasil konsumsi pun akan ikut terjun bebas.

Untuk itulah, agar ekspektasi pertumbuhan ekonomi  positif seperti yang diharapkan mampu terjaga, daya beli masyarakat harus di jaga betul.

Caranya dengan menaikan pendapatan atau dengan mengendalikan inflasi.

Mengendalikan Inflasi pada saat Ramadan bukan pekerjaan mudah, hampir sepanjang saya ingat Ramadan itu selalu berkorelasi dengan meningkatnya angka inflasi secara signifikan.

Hanya tahun 2020 saat Covid-19 tengah hot-hotnya, inflasi pada bulan Ramadan tahun itu sangat rendah mencapai, 0,07 persen.

Inflasi mungkin merupakan salah satu istilah ekonomi yang secara sadar dan langsung dampaknya dirasakan oleh masyarakat, karena inflasi  maka harga barang-barang kebutuhan pokok, sekunder, maupun tersier meningkat.

Secara sederhana inflasi adalah suatu keadaan perekonomian dimana harga-harga secara umum mengalami kenaikan secara terus menerus dalam waktu yang panjang.

Jadi jika hanya satu dua saja jenis barang-barang yang harganya naik dan kenaikannya berlangsung sporadis dan pendek maka kondisi kenaikan barang itu tak bisa di sebut sebagai gejala inflasi.

Menurut sejumlah sumber referensi yang saya dapatkan,  Inflasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bisa jadi spekulasi, dan ketidaklancaraan distribusi barang

Inflasi juga dapat terjadi  lantaran uang yang beredar lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Inflasi ini semacam bahaya perekonomian laten yang gejalanya susah untuk diatasi secara tuntas, karena ketika ekonomi sebuah negara tumbuh hampir dapat dipastikan inflasi pun meningkat.

Jadi upaya-upaya maksimal mengatasi inflasi hanya hingga pada tahap mengurangi atau mengendalikannya saja.

Secara teori, seperti studi yang dilakukan oleh Bank Indonesia inflasi bisa dipicu oleh tiga faktor :

  1. Faktor kelebihan permintaan atau demand-full inflation Inflasi dapat timbul dari sisi permintaan ketika ada kelebihan permintaan (excess demand) dalam interaksi antara sisi permintaan dan penawaran dalam sebuah perekonomian.
  2. Terjadi perubahan tingkat penawaran (cost-push/supply shocks inflation): Inflasi juga dapat dipicu oleh kenaikan biaya produksi suatu barang atau jasa sehingga memengaruhi tingkat penawarannya, baik terkait harga maupun kuantitas barang atau jasa tersebut.
  3. Ekspektasi: Inflasi juga dapat timbul karena perubahan ekspektasi yang terjadi secara umum di tengah masyarakat. Ekspektasi terhadap inflasi ini bergantung pada pandangan subyektif dari pelaku ekonomi.

Nah, untuk menjaga daya beli masyarakat agar tak tergerus inflasi, pemerintah mewajibkan pada pemberi kerja baik ASN maupun swasta untuk memberi ekstra pendapatan yang biasa kita sebut THR di 2 minggu terakhir bulan Ramadan.

Inflasi ini, seperti orang ketiga dalam sebuah hubungan mesra antara momentum Ramadan dan ekpektasi pertumbuhan ekonomi. Dua tahun terakhir memang "cinta segitiga" antara Momentum Ramadan, Pertumbuhan ekonomi, dan inflasi tak terejawantahkan lantaran Covid-19 mengganggu.

Namun sepertinya untuk tahun 2022, "Cinta Segitiga" antar ketiga komponen yang berpengaruh pada perekonomian nasional tersebut akan kembali bersemi.

Harapannya, Pemerintah mampu mengelola dan mengendalikan inflasi dengan lebih propered, sehingga dampak pertumbuhan ekonnominya lebih "nendang" 

Terutama dalam hal mengendalikan daya beli dengan menjaga efesiensi pasar melalui pengembangan infrastruktur, penguatan sistem logistik dan pengawasannya.

Ketiga hal tersebut memberi sumbangan yang cukup signifikan dalam meningkatnya biaya transaksi, seperti yang belakangan terkadi pada komoditas minyak goreng.

Biaya transaksi merupakan biaya tambahan yang harus dibayar konsumen atau produsen akibat skema adminstrasi kelembagaan yang tidak efesien dan cenderung membuka celah untuk kongkalikong.

Semua itu bisa terjadi lantaran pengwasan yang kurang komprehensif sehingga menumbuhkan para pemburu rente serta meningkatnya problem distribusi.

Ujungnya harga barangnya menjadi mahal, dan tingkat inflasi menjadi sulit dikendalikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun