Normalnya, manusia akan senang ketika melihat manusia lainnya senang, sedih ketika melihat manusia lainnya susahÂ
Namun, agak sulit disangkal belakangan terutama dalam konteks politik, manusia atau kelompok tertentu  terkadang lebih senang melihat manusia atau kelompok lain susah, susah ketika menyaksikan manusia atau kelompok lain senang.
Contoh, ketika salah satu calon investor Ibukota Negara Baru asal Jepang, Softbank menarik diri untuk ikut membiayai pembangunannya.
Seketika oposisi atau para pihak yang tak menyukai pembangunan IKN dan Pemerintah Jokowi, seolah bersorak.
"See, tuh kan apa gue bilang, IKN ini memang tak visible."Â
Harapan mereka mungkin seluruh calon investor IKN menarik diri, dan salah satu program unggulan pemerintah Jokowi berantakan tak diteruskan lagi.
Juga saat, aspal di Sirkuit Mandalika mengelupas dan diangggap tak layak untuk hajatan sebesar MotoGP.
Sorakan riang terdengar nyaring dari kubu sebelah, narasi -narasi busuk mulai menguar di ranah publik dari para pihak yang menamakan dirinya "oposisi."
Di sisi lain, saat Formula E yang di gagas Gubernur DKI Jakarta yang dianggap "simbol" oposisi mengalami berbagai kesulitan mulai dari masalah anggaran dan teknis pembangunan sirkuit di Ancol.
Para pendukung pemerintah bersorak, mensyukuri kesulitan tersebut seraya melakukan bullying tak berperi.
Sama saja sebenarnya kedua pihak ini, karena alasan politis mereka lebih senang lawan politiknya terlihat buruk dan burik di mata publik.
Tapi begitu achievment positif diraih oleh lawan politik masing-masing, keduanya selalu saja menemukan jalan untuk merendahkan capaian-capaian positif tersebut.
Untuk memuluskan ambisi dan keinginan politiknya, mereka lebih suka menjual keburukan dan keburikan lawan politiknya dibandingkan menonjolkan capaian dan prestasi positif diri mereka sendiri.
Media sosial yang sebenarnya sangat bisa digunakan sebagai etalase untuk memajang prestasi diri agar disukai dan dipilih publik.
Lebih banyak digunakan sebagai sarana untuk memajang sisi negatif calon lawan atau lawan politiknya, agak buruk dan buriknya terpampang jelas dimata publik.
Tak jelas benar, apa yang terjadi dengan dunia politil Indonesia saat ini yang menurut saya sangat abai dengan etika.
Tapi itulah politik, yang kerap kali menghalakan segala cara dalam mencapai tujuannya.Â
Namun, jika sikap senang melihat manusia lain susah, susah melihat manusia lain senang  ditarik ke ranah personal.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Psikologi Mercer University Georgia Amerika Serikat hal tersebut bisa terjadi karena insecure yang jika dibiarkan bakal berujung pada depresi.
Sikap ini dalam keilmuan Psikologi disebut dengan istilah dalam bahasa Jerman "Schadenfreude" yang artinya sukacita dalam kerugian.
Schaden berarti kerugian dan freude artinya sukacita.
Orang yang bertepuk tangan penuh sukacita atas nasib naas pihak lain mungkin menganggap ada sesuatu dalam kejadian tersebut yang menguntungkan bagi mereka.
Atau beberapa pakar psikologis yang lain berpendapat, hal tersebut lahir lantaran rasa dengki dan iri  pada kehidupan  yang menimpa pihak yang tertimpa kemalangan tersebut.
Jika ditilik lebih dalam lagi, perasaan senang melihat manusia lain susah, susah melihat orang lain senang sebenarnya imbas dari rasa putus asa dan insecurity karena harga diri dan kepercayaan diri yang rendah.
Lebih jauh, menurut Profesor Psikologi Ursinus University of Pennsylvania AS Chaterine Chambliss seperti dilansir Jurnal Annals of The New York Academy of Science.
Munculnya Schadenfreude bisa dipengaruhi oleh gejala depresi yang dialami orang atau kelompok tersebut.
Perasaan dan sikap, senang melihar manusia lain susah, susah melihat manusia lain senang, memurutnya hingga titik tertentu normal.
Namun sangat critical, dalam jangka waktu panjang  sangat potensial melampaui garis normal tersebut, schadenfreude ini bisa berkembang menjadi kecenderungan psikopati, yang kurang empati, lebih suka menghalakan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Mungkin jika kembali kita tarik ke ranah politik, bisa jadi mereka itu lebih menyukai menghalalkan segala cara untuk meraih ambisi politiknya.
Jika itu benar terjadi, dan ambisi politiknya tercapai yang kemudian menduduki tampuk kekuasaan, laku dan tindaknya sebagai penguasa tak akan berpihak pada rakyat dan masyarakat kecil karena tak cukup memiliki empati.
Jadi kenapa juga harus memilih orang yang tak memiliki empati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H