Atau beberapa pakar psikologis yang lain berpendapat, hal tersebut lahir lantaran rasa dengki dan iri  pada kehidupan  yang menimpa pihak yang tertimpa kemalangan tersebut.
Jika ditilik lebih dalam lagi, perasaan senang melihat manusia lain susah, susah melihat orang lain senang sebenarnya imbas dari rasa putus asa dan insecurity karena harga diri dan kepercayaan diri yang rendah.
Lebih jauh, menurut Profesor Psikologi Ursinus University of Pennsylvania AS Chaterine Chambliss seperti dilansir Jurnal Annals of The New York Academy of Science.
Munculnya Schadenfreude bisa dipengaruhi oleh gejala depresi yang dialami orang atau kelompok tersebut.
Perasaan dan sikap, senang melihar manusia lain susah, susah melihat manusia lain senang, memurutnya hingga titik tertentu normal.
Namun sangat critical, dalam jangka waktu panjang  sangat potensial melampaui garis normal tersebut, schadenfreude ini bisa berkembang menjadi kecenderungan psikopati, yang kurang empati, lebih suka menghalakan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Mungkin jika kembali kita tarik ke ranah politik, bisa jadi mereka itu lebih menyukai menghalalkan segala cara untuk meraih ambisi politiknya.
Jika itu benar terjadi, dan ambisi politiknya tercapai yang kemudian menduduki tampuk kekuasaan, laku dan tindaknya sebagai penguasa tak akan berpihak pada rakyat dan masyarakat kecil karena tak cukup memiliki empati.
Jadi kenapa juga harus memilih orang yang tak memiliki empati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H