Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Ada yang Aneh dari Ritual "Pawang Hujan" di MotoGP Mandalika

20 Maret 2022   19:56 Diperbarui: 20 Maret 2022   20:26 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jujur saja saya kok agak terganggu dengan pihak-pihak yang mempermasalahkan bahkan terkesan mengecilkan dan lebih jauh lagi hingga men-disgrace ritual pawang hujan pada saat gelaran MotoGP Mandalaka.

Seperti yang saya saksikan lewat siaran langsung di salah satu stasiun televisi swasta, saat hujan mengguyur deras Sirkuit Pertamina Mandalika terlihat seorang perempuan bernama Rara membawa guci kuningan kecil sambil membaca-baca mantra.

Harapannya dengan ritual dan mantra-mantra yang dirapalkan olehnya, hujan memang tak mereda seketika.

Namun tak lama kemudian mungkin kurang lebih 30 menit setelah sang pawang hujan selesai melakukan ritualnya, derasnya hujan mulai mereda, dan balapan MotoGP segera bisa dilaksanakan.

Terlepas dari perdebatan apakah mba Rara Istiani berhasil melakukan tugasnya sebagai pawang hujan atau tidak.

Namun banyak pihak yang merasa dirinya bagian dari masyarakat modern mencemooh ritual ini seolah hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat aneh untuk dilakukan.

Padahal dimana anehnya, faktanya saya atau mungkin anda bersama bermilyar orang di dunia ini setiap hari melakukan membaca mantra, ajian, doa atau apapun itu nama ritualnya berharap "Hukum Alam Direvisi"

Bahkan ritual berharap hukum alam bisa direvisi pun diperbolehkan dalam Islam. Umat Islam pastinya mengetahui keberadaan Shalat Istisqa untuk meminta hujan supaya turun.

Meskipun tentu saja berbeda ritual yang dilakukannya, tapi untuk urusan ritual kan tergantung pada kepercayaannya masing-masing, so be it.

Memang bagi masyarakat modern perkotaan pawang hujan agak sulit diterima, tetapi nun jauh dipelosok-pelosok desa yang masih di dominasi unsur tradisional pawang hujan masih menunjukan eksistensinya.

Menurut sejumlah sumber referensi yang saya dapatkan, konsepsi pawang hujan ini tidak menghilangkan hujan. 

Para Pawang Hujan bermain dalam konteks waktu, menunda, mempercepat atau mengalihkan hujan.

Seorang pawang hujan yang biasanya juga disebut sebagai komunikator alam, sebelum layak disebut pawang, mereka harus menempa dirinya dengan berbagai kearifan, terutama ikhtiar menjaga alam dan lingkungan sekitar.

Jadi pawang hujan seperti yang ditulis oleh Eva Junalisah dalam bukunya "Peranan Pawang Hujan dalam Pelaksanaan Pesta Pernikahan Pada Etnis Jawa"

Pawang hujan berpedoman pada sebuah tesis sederhana bahwa tidak ada sesuatu yang pasti di dunia ini, manusia hanya memohon dan berdoa termasuk untuk urusan hujan.

Dan ini merupakan kearifan lokal yang selama ini dipegang oleh masyarakat di Nusantara. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun