Oke lah, sanksi ekonomi Barat dan Sekutunya saat ini dijatuhkan secara lebih masif, Rusia ditendang dari sistem pembayaran transaksi internasional, SWIFT, serangkaian sanksi perdagangan pun dijatuhkan, ditambah partisipasi dari ratusan perusahaan besar yang juga menghentikan operasinya di Rusia, tapi sepertinya Kremlin akan terus bertahan tanpa harus menarik pasukannya dari Ukraina.
Serangkaian sanksi ekonomi dan penghentian operasional ratusan perusahaan besar  milik Barat dan Sekutunya tentu saja berefek besar pada perekonomian Rusia.
Fakta bahwa Mata Uang Rubel terjun bebas hingga 40 persen terhadap Dollar AS memang terjadi.
Namun efek yang lebih besar dari itu hingga saat ini belum terlihat. Mungkin lantaran Rusia pasca invasi ke Krimea pada 2014, telah mengadopsi kebijakan "de-Dollarizatiion" yakni pengurangan penggunaan Dollar secara bertahap, ternasuk dalam cadangan devisanya.
Melansir situs keuangan internasional, Bloomberg.com, saat ini hanya 16 persen dari total cadangan devisa Rusia  yang berbentuk dollar.
Turun jauh dibandingkan komposisi total cadangan 5 tahun lalu, yang 40 persennya ditempatkan dalam dollar.
Rusia juga telah mengembangkan sistem transaksi dan komunikasi finansial domestik yang disebut  Jaringan MIR dan SPES, semacam GPN di Indonesia  sejak tahun 2014.
Dalam hal perdagangan barang dan jasa pun, Rusia sudah lama menghidupi diri mereka sendiri untuk mengamankan ekonominya dari goncangan ekonomi global.
Namun demikian, bukan berarti Rusia imun terhadap efek sanksi ekonomi yang dijatuhkan Barat dan berhentinya operasional ratusan perusahaan multinaaional.
Diakui atau tidak ekonomi Rusia pasti terguncang oleh sanksi ekonomi tersebut, tetapi apakah guncangannya itu mampu mengerem agresivitas Rusia, sepertinya tidak.
Hingga dua pekan sejak serangan pertama pada 24 Februari 2022, tak ada tanda-tanda invasi Rusia ke  Ukraina akan dihentikan, seperti tujuan sanksi ekonomi. Malah lebih menjadi, pasukan Rusia merangsek ke hampir semua kota di Wilayah Ukraina.