minyak goreng sepertinya masih jauh dari akhir, eh harga barang kebutuhan yang banyak dikonsumsi masyarakat yang lain ikutan naik pula.
Kenaikan dan "dilangkakannya"Kedelai yang merupakan bahan pembuatan tahu dan tempe meroket menembua angka Rp.11.500 per kg dari harga sebelumnya di bawah Rp.8.000 per kg.
Menyusul kemudian harga daging sapi, naik tajam dari biasanya Rp. 120-130 ribuan per kg menjadi Rp.160 ribuan per kg.
Eh dari sektor energi pun ternyata berminat naik juga harganya, gas elpiji non-subdidi ukuran 5 dan 12 kg yang biasa digunakan masyarakat umum.
Harga gas elpiji per 27 Februari 2022 Rp. 15.500 per kg naik Rp. 4.000 per kg dari sebelumnya Rp.11.500 per kg.
Berbagai kenaikan harga kebutuhan pokok "jujurly" sangat mengkhawatirkan, di tengah ekonomi sulit yang memang masih sangat dirasakan masyarakat.
Saya kok melihat pemerintah terlihat asyik-asyik saja, minyak goreng yang sudah hampir enam bulan harganya menanjak secara konstan tak mampu di kontrol dan dikembalikan ke harga eceran tertinggi (HET) yang sebelumnya sebesar Rp. 12.000 per kg.
Harga HET minyak goreng diubah oleh pemerintah tak lagi tunggal per 1 Februari 2022 menjadi 3 variabel.
Minyak goreng curah Rp.11.500/kg, minyak goreng kemasan Rp.13.500/kg dan minyak goreng kemasan premium Rp.14.000/kg.
Hasilnya, harga minyak goreng di pasar tradisonal yang relatif tak bisa dikontrol pemerintah masih berada jauh di atas HET, harganya ada di antara Rp.19.000 - Rp.21.000 per kg.
Sementara di pasar ritel modern seperti mini market dan supermarket yang lebih mudah dikontrol minyak goreng menghilang seolah "dilangkakan"
Kementerian Perdagangan pemilik otoritas regulasi dan pengawas perdagangan berbagai komoditi pokok terlihat kehilangan akal untuk mengendalikan harga dan keberadaan minyak goreng ini.
Mereka malah sibuk berkilah bahwa minyak goreng seharusnya banjir di pasar, tapi fakta dilapangan kan tak begitu.
"Sebenarnya, secara komitmen, pemenuhan ini harusnya banjir terpenuhi dalam jangka waktu sebulan," ujar Sekretaris Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) I Gusti Ketut Astawa, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Selasa (01/03/22).
Kemendag sampai terheran-heran mengapa kondisi di lapangan langka dan mahal. Dalam teori dasar ekonomi supply dan demand, ketika stok barang melimpah permintaan biasa saja maka harga barang tersebut seharusnya murah, faktanya tidak begitu, kawan.
Katanya, barang banjir tetapi dipasar langka dan mahal berarti ada yang tak simetris dalam sistem tata niaganya.
Tugas Kemendag bukan "heran" tapi memperbaiki situasi ini, mereka kan memiliki otoritas untuk melakukannya.
Dan ini harus lebih cepat dilakukan mengingat dalam waktu sebulan ke depan, akan memasuki bulan Ramadhan yang secara natural saja tanpa friksi kenaikan harga saja sudah pasti naik lantaran permintaan terhadap barang akan naik.
Pun demikian dengan kedelai, meskipun untuk bahan dasar tempe dan tahu ini berkaitan dengan harga kedelai global, yang tengah mengalami kenaikan lantaran berbagai sebab terutama masalah kekeringan di sejumlah produsen utama kedelai dunia seperti Brazil.
Begitu isu harga kedelai naik, narasi swasembada kedelai mengemuka, tapi begitu harga kembali normal narasi itu kembali tenggalam.
Dari kebutuhan 3 juta ton per tahun, dalam neheri hanya mampu menyediakan 750 ribu kg per tahun, ya wajar saja volatilitas harganya tak bisa terkontrol.
Butuh kerjasama lintas kementerian untuk mengatasi kenaikan harga kedelai yang terjadi setiap tahun ini.
Belum teratasi kenaikan harga kedua komoditas tersebut, komoditas daging sapi pun ikut-ikutan naik.Â
Seperti kedelai, untuk kebutuhan daging sapi pun akibat ketergantungan terhadap impor. Begitu negara utama eksportir daging seperti Australia mengubah skema perdagangannya karena berbagai sebab, Indonesia langsung terimbas.
Harus ada upaya nyata dari pemerintah agar untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri tak terlalu terkandung pada impor.
Tapi ya seperti kedelai tadi, begitu harga bisa terkontrol. Narasi pemenuhan kebutuhan dalam negeri secara swasembada menguap begitu saja.
Terakhir harga elpiji non subsidi juga ikutan naik, katanya karena imbas perang Rusia vs Ukraina, aneh perangnya aja baru mulai 6 hari lalu, kontrak perjanjian pembelian gas dan minyak mentah biasanya paling cepat untuk 3 bulan.
Dengan demikian seharusnya, kalau pun mau naik yang 3 bulan yang akan datang. Lagpula Indonesia kan juga merupakan salah satu eksportir gas dan minyak bumi.
Artinya dapat juga dong windfall dari kenaikan harga minyak dan gas dunia yang kini menembus angka US$ 100 per barrel.
Kenapa uang yang didapat dari windfall itu tak dipakai untuk mengelola harga elpiji agar tak terjadi kenaikan yang dipasaran hingga Rp.20 ribu/kg.
Dimana pemerintah dalam situasi lonjakan harga berbagai kebutuhan pokok ini?
Perbaiki dong tata niaga berbagai kebutuhan pokok tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H