Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dalam Kasus Desa Wadas, Represif Cara Penyelesaian yang Harus Dihindari

9 Februari 2022   10:57 Diperbarui: 9 Februari 2022   12:21 2553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyaksikan tayangan video dari berbagai sumber di media sosial dan cuplikan berita di stasiun televisi betapa represif nya sikap aparat Kepolisian sampai mengepung hanpir seluruh desa, dalam kasus sengketa agraria di Desa Wadas Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.

Memori dalam benak saya melayang ke masa Orde Baru yang aparatnya bisa begitu represif ketika rakyat tak sejalan dengan kemauan penguasa.

Atau lebih jauh lagi  mungkin agak mirip dengan cerita-cerita sejarah saat VOC berkuasa di Hindia Belanda dan menginginkan lahan milik rakyat untuk kepentingan mereka.

Pangkal masalah dari semua peristiwa di Desa Wadas ini adalah pembangunan infrastruktur Bendungan Bener yang terletak kurang lebih 10,5 km sebelah barat Desa Wadas.

Untuk kebutuhan material proyek pembangunan yang masuk klasifikasi Proyek Strategis Nasional ini, pemerintah bermaksud menambang batu andesit yang ada di perut Bukit Wadas, yang selama puluhan atau mungkin ratusan tahun menjadi sumber penghidupan warga Desa Wadas.

Jika penambangan batuan andesit itu dilakukan maka lahan hidup mereka akan hilang, makanya kemudian ketika pemerintah berniat mengambil alih dengan cara  mengganti untung tanah yang mereka miliki, mayoritas warga Wadas menolak.

Sebenarnya konflik-konflik agraria yang melibatkan rakyat dan pemerintah seperti yang terjadi di Desa Wadas bukan barang baru, terjadi hampir di setiap era pemerintahan siapapun dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia.

Pemerintah membutuhkan bidang lahan dengan alasan membangun infrastruktur bagi kepentingan manfaat  bagi masyarakat yang lebih luas, sementara rakyat bertahan tak memberikan lahan yang dibutuhkan pemerintah lantaran dari lahan itu lah mereka "berkehidupan."

Ini masalah klasik yang dulu, kini, dan nanti akan terus terjadi. Cara menyelesaikan permasalahan ini secara smooth dengan geseken minimal menjadi ujian bagi pemimpin di wilayah yang terkena proyek pembangunan tersebut.

Terlepas dari apapun yang mengimbuhinya, menyelesaikan sebuah konflik pertanahan dengan cara represif seperti yang terjadi di Desa Wadas adalah seburuk-buruknya penyelesaian.

Sebesar apapun manfaat dari proyek infrastruktur tersebut, jika penyelesaian masalah konflik yang mengiringinya menggunakan pola-pola represif, manfaatnya jadi hilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun