Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Jin Buang Anak" Membawa Edy Mulyadi Mantan Caleg PKS Mendekam di Bui, Inikah Potret "Oposisi" Saat Ini?

1 Februari 2022   08:02 Diperbarui: 1 Februari 2022   08:20 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bisa memahami enggak, ini ada tempat elit, punya sendiri yang hargnya mahal, punya gedung sendiri, lalu dijual pindah ke tempat jin buang anak, pasarnya siapa, kalau pasarnya kuntilanak, genderewo, ngapain pindah kesana" kata Edy Mulyadi disambut tertawa orang-orang yang berada disekitarnya.

Itu pernyataan Edy yang viral mengenai penolakannya terhadap pemindahan ibukota negara yang kemudian menuai banyak kecaman dari seantero masyarakat Kalimantan.

Dan masyarakat adat Kalimantan melaporkan ucapan Edy Mulyadi tersebut ke pihak Kepolisian.

Mungkin saat Edy mengucapkan rangkaian kalimat di atas, ia tak menyangka akan berakhir menjadi sebuah tragedi bagi dirinya.

Karena ucapan itulah, Edy kini harus menjadi tersangka atas dugaan ujaran kebencian dan harus merasakan dinginnya ubin Rumah Tahanan Bareskrim Mabes Polri.

Ya, setelah diperiksa oleh tim penyidik Mabes Polri selama kurang lebih  8 jam 30 menit, Edy ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan untuk mencegah yang bersangkutan melarikan diri.

"Setelah dilakukan gelar perkara, penyidik telah menaikkan status dari saksi menjadi tersangka," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Senin(31/01/22).

Rupanya permintaan maaf Edy setelah mendapat kecaman sangat keras dari masyarakat Kalimantan, tak cukup untuk menghentikan bergulirnya kasus hukum yang menimpanya tersebut.

Tapi itulah konsekuensi yang harus dihadapi Edy mantan caleg gagal dari PKS,  partai yang beroposisi dengan Pemerintahan Jokowi.

PKS merupakan satu-satunya partai yang menolak secara terang benderang, pengesahan Undang-Undang Ibukota Negara Baru yang menjadi dasar hukum bagi pemindahan Ibukota negara dari Jakarta ke kawasan Penajam Passer Utara Kalimantan Timur.

Namun, sayang ketidaksetujuannya Edy atas kebijakan pemindahan ibukota negara tak disampaikan dengan cara yang konstruktif, bahkan cenderung menyeret-nyeret sesuatu yang tak berhubungan langsung dengan substansinya.

Akibatnya ya seperti ini, ia akhirnya harus menghadapi ancaman hukuman 10 tahun penjara karena dianggap melanggar Pasal 14 ayat (1) dan (2) KUHP jo Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 jo Pasal 156 KUHP dan Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE).

Sebenarnya tak hanya Edy Mulyadi yang tak setuju dengan pemindahan Ibukota negara, tetapi mereka menyampaikan dengan cara-cara yang elegan dan menukik pada substansi permasalahannya.

Kurang keras apa suara lantang pengamat ekonomi Faisal Basri yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemindahan ibukota negara ini.

Tapi kritik Faisal substantif, menyasar masalah biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk mega proyek pemindahan Ibukota negara tersebut.

Masih banyak kok ruang untuk menyampaikan kritik sekeras apapun terhadap pemindahan dan pembangunan Ibukota negara baru, tanpa harus berurusan dengan hukum.

Susah juga sih kalau ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pemerintah didasari pelampiasan dendam lantaran kalah dalam pemilu sebelumnya serta yang disasar hanyalah politik kekuasaan bukan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Di benak pihak-pihak yang beroposisi sekarang hanyalah bagaimana caranya membuat pemerintahan saat ini agar terlihat buruk.

Mungkin mereka berharap setiap kebijakan dan program pemerintah itu gagal, agar mereka memiliki peluang untuk mendapatkan kekuasan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun