Akibatnya ya seperti ini, ia akhirnya harus menghadapi ancaman hukuman 10 tahun penjara karena dianggap melanggar Pasal 14 ayat (1) dan (2) KUHP jo Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 jo Pasal 156 KUHP dan Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE).
Sebenarnya tak hanya Edy Mulyadi yang tak setuju dengan pemindahan Ibukota negara, tetapi mereka menyampaikan dengan cara-cara yang elegan dan menukik pada substansi permasalahannya.
Kurang keras apa suara lantang pengamat ekonomi Faisal Basri yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemindahan ibukota negara ini.
Tapi kritik Faisal substantif, menyasar masalah biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk mega proyek pemindahan Ibukota negara tersebut.
Masih banyak kok ruang untuk menyampaikan kritik sekeras apapun terhadap pemindahan dan pembangunan Ibukota negara baru, tanpa harus berurusan dengan hukum.
Susah juga sih kalau ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pemerintah didasari pelampiasan dendam lantaran kalah dalam pemilu sebelumnya serta yang disasar hanyalah politik kekuasaan bukan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Di benak pihak-pihak yang beroposisi sekarang hanyalah bagaimana caranya membuat pemerintahan saat ini agar terlihat buruk.
Mungkin mereka berharap setiap kebijakan dan program pemerintah itu gagal, agar mereka memiliki peluang untuk mendapatkan kekuasan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H