hukum terhadap para koruptor yang besaran korupsinya tak lebih dari Rp. 50 juta, cukup mengejutkan dan dalam kacamata saya mencederai rasa keadilan.
Pernyataan Jaksa Agung Burhanudin Sinatiar yang meminta jajarannya untuk tak melakukan prosesMeskipun dalam kalimat lanjutannya,seperti dilansir Kompas.com ia menambahkan "asal koruptor tersebut mengembalikan uang yang sudah dikorupsinya"
Secara hukum, jika mengacu pada Pasal 4 Â Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengembalikan uang hasil korupsi tak serta merta menghapus tindak pidana yang dilakukannya.
"Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3."
Pasal 2 dan 3 UU Tipikor menerangkan kriteria apa itu tindakan korupsi, dan disitu tak tercantum batasan minimal jumlah uang yang dikorupsi agar bisa di proses hukum, sila simak biar jelas bunyi 2 pasal tersebut.
Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor:
(1) Â Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Â Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dalam aturan tersebut, jelas dan terang tak ada batasan minimal jumlah uang yang dikorupsi sehingga seseorang bisa bebas melenggang tak dihukum karena sudah mengembalikan kerugian yang diakibatkan oleh laku koruptifnya.
Jaksa Agung mengklaim, bahwa mekanisme tersebut dipilih sebagai upaya pelaksanaan proses hukum cepat, murah, dan sederhana.
Oke, jika klaim itu benar, lantas apa kabar dengan sebuah kasus pencurian uang Rp. 100 ribu dari kotak amal mesjid di Medan yang oleh hakimnya di vonis hukuman penjara selama 2 tahun.
Seperti dilansir Kompas.com, Rabu (26/01/22) Vonis hakim Dominggus Silaban di Pengadilan Negeri Medan lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut terdakwa dengan hukuman 3 tahun penjara.
"Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun, dikurangi masa tanahan," ucap hakim.
Dimana rasa keadilannya, korupsi paling besar Rp. 50 juta diperintahkan untuk tidak diproses hukum, sementara mencuri Rp.100 ribu dituntut 3 tahun dan akhirnya di vonis 2 tahun penjara.
Jika mengacu pada pernyataan Jaksa Agung, seharusnya sejak awal pencuri yang mengambil uang Rp. 100 ribu itu tak perlu diproses hukum. Mencuri dan korupsi kan sebenarnya setali tiga uang,keduanya tindak pidana yang merugikan pihak lain.
Bedanya mencuri mungkin hanya merugikan pidak perseorangan, sedangkan korupsi bisa jadi merugikan khalayak ramai karena merugikan keuangan negara yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
Keduanya jelas merupakan tindakan yang salah, secara hukum berapapun jumlahnya ya harus dihukum. Jika tidak ya ubahlah aturannya dengan tegas batasan jumlah kerugiannya yang diperbolehkan untuk di curi atau dikorupsi, biar jelas sekalian,
Jadi para pencuri dan para koruptor tahu berapa banyak yang harus dicuri dan dikorupsi agar tak dihukum.
Jika kemudian diarahkan pada keadilan, seharusnya yang adil pencuri uang Rp.100 ribu itu dibebaskan saja, toh saya yakin ia bisa kok mengembalikan uang Rp. 100 ribu itu.
Harus diingat hukum bukanlah keadilan.Pada prinsipnya, hukum dan keadilan itu dua hal yang sangat berbeda. Hukum hanya bagian usaha untuk meraih keadilan dalam masyarakat saja, tetapi dia tidak sama persis dengan keadilan.Â
Sedangkan keadilan memang mencakup hukum, namun hukum bukan satu-satunya cara menciptakan keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H