Jaksa Agung mengklaim, bahwa mekanisme tersebut dipilih sebagai upaya pelaksanaan proses hukum cepat, murah, dan sederhana.
Oke, jika klaim itu benar, lantas apa kabar dengan sebuah kasus pencurian uang Rp. 100 ribu dari kotak amal mesjid di Medan yang oleh hakimnya di vonis hukuman penjara selama 2 tahun.
Seperti dilansir Kompas.com, Rabu (26/01/22) Vonis hakim Dominggus Silaban di Pengadilan Negeri Medan lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut terdakwa dengan hukuman 3 tahun penjara.
"Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun, dikurangi masa tanahan," ucap hakim.
Dimana rasa keadilannya, korupsi paling besar Rp. 50 juta diperintahkan untuk tidak diproses hukum, sementara mencuri Rp.100 ribu dituntut 3 tahun dan akhirnya di vonis 2 tahun penjara.
Jika mengacu pada pernyataan Jaksa Agung, seharusnya sejak awal pencuri yang mengambil uang Rp. 100 ribu itu tak perlu diproses hukum. Mencuri dan korupsi kan sebenarnya setali tiga uang,keduanya tindak pidana yang merugikan pihak lain.
Bedanya mencuri mungkin hanya merugikan pidak perseorangan, sedangkan korupsi bisa jadi merugikan khalayak ramai karena merugikan keuangan negara yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
Keduanya jelas merupakan tindakan yang salah, secara hukum berapapun jumlahnya ya harus dihukum. Jika tidak ya ubahlah aturannya dengan tegas batasan jumlah kerugiannya yang diperbolehkan untuk di curi atau dikorupsi, biar jelas sekalian,
Jadi para pencuri dan para koruptor tahu berapa banyak yang harus dicuri dan dikorupsi agar tak dihukum.
Jika kemudian diarahkan pada keadilan, seharusnya yang adil pencuri uang Rp.100 ribu itu dibebaskan saja, toh saya yakin ia bisa kok mengembalikan uang Rp. 100 ribu itu.
Harus diingat hukum bukanlah keadilan.Pada prinsipnya, hukum dan keadilan itu dua hal yang sangat berbeda. Hukum hanya bagian usaha untuk meraih keadilan dalam masyarakat saja, tetapi dia tidak sama persis dengan keadilan.Â