Pada dasarnya dalam hal apapun itu, ketika masyarakat disodori kenaikan tarif atas barang atau jasa serta merta mereka pasti akan menolak.
Itu naluri dasar yang wajar sebagai manusia, ingin mendapatkan barang atau jasa dengan manfaat sebesar-besarnya tetapi dengan biaya serendah-rendahnya.
Jadi ketika ada rencana tarif Kereta Rel Listrik (KRL) di wilayah aglomerasi Jabotadebek bakal dinaikan otomatis semua pengguna KRL, terutama yang reguler akan menolaknya, termasuk saya.
Seperti dilansir sejumlah media, PT. KCI yang merupakan operator KRL di Indonesia berencana menaikan tarif dasar KRL untuk 25 pertama, dari Rp.3.000 per sekali jalan per orang menjadi Rp.5.000, jadi kenaikannya sebesar 40 persen.
Namun demikian tarif untuk tiap 10 km selanjutnya tak mengalami perubahan tetap Rp.1.000 per orang.
Asal tahu saja tarif tersebut, bukan tarif sesuai nilai pasar atau secara bisnis memiliki nilai keekonomian, tetapi tarif setelah di subsidi oleh pemerintah melalui skema Public Service Obligation (PSO) atau kewajiban layanan publik.
Skema tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari subsidi yang diberikan pemerintah kepada rakyatnya.
Tujuannya adalah untuk menaikan taraf hidup dan daya beli masyarakat secara umum. Skema PSO ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Â nomor 91/PMK.02/2020.
Jika mengutip informasi dari Dirjen Perkeretaapian selaku pengawas segala rupa transportasi berbasis rel, kenaikan tarif KRL Jabodetabek itu alasan utamanya adalah untuk mengurangi besaran PSO yang dalam lima tahun terus mengalami pembengkakan.
Misalnya saja di tahun 2021 kemarin, PSO yang digelontorkan Pemerintah untuk KRL ini sebesar Rp. 1,9 triliun, angka sebesar itu naik dari tahun sebelumnya yang PSO-nya sebesar Rp. 1,55 triliun.
Lantas berapa sebenarnya subsidi yang diberikan pemerintah kepada setiap penumpang KRL per sekali perjalanan?