BRIN) itu sangat baik untuk ekosistem riset dan inovasi di Indonesia.
Sebenarnya tujuan pendirian Badan Riset dan Inovasi Nasional(Selain itu BRIN merupakan salah satu perwujudan dari amanat Undang-Undang nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Ekosistem ilmiah ini diyakini bakal mampu menghasilkan invensi dan inovasi berkualitas serta memberi manfaat lebih dan berguna untuk kehidupan sosial ekonomi secara merata dan berkelanjutan.
Pembentukan BRIN oleh Pemerintah Jokowi ini secara praksis bertujuan untuk meningkatkan manfaat riset dan inovasi bagi kepentingan bangsa Indonesia.
Untuk meraih manfaat tersebut, Menurut situs BRIN.go.id ada tiga arah yang harus ditempuh oleh BRIN.
Pertama, melakukan konsolidasi sumber daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) yaitu Sumber daya manusia, infrastruktur, dan anggaran untuk meningkatka critical mess kapasitas dan kompetensi riset Indonesia dalam menghasilkan invensi dan inovasi yang pada tahun 2045 menjadi fondasi utama Indonesia.
Kedua, menciptakan ekosistem riset sesuai standar global yang inklusif dan kolaboratif bagi semua pihak terutama bagi para stakeholder di dunia riset seperti para akademisi, industri, komunitas, dan pemerintah.
Ketiga, meletakan fondasi ekonomi berbasis riset yang kuat dan memiliki sustainability, dengan berfokus pada digital economy, green economy, dan blue economy.
Ketiga arah di atas akan kehilangan fokusnya manakala tak disertai dengan target yang harus di raih, untuk itulah kemudian BRIN ditargetkan untuk mencapai 7 target yang harus mereka penuhi.
Pertama, mengintegrasikan berbagai lembaga penelitian dan pengembangan yang ada di lembaga pemerintahan dan kementerian, yang akan mulai dilakukan per tanggal 1 Januari 2022.
Kedua, melakukan transformasi bisnis dan manajemen riset secara menyeluruh sehingga bisa mempercepat peningkatan critical mess sumber daya riset dan inovasi.
Ketiga, refocusing pada riset yang bisa menghasilkan nilai tambah secara ekonomi yang berbasis pada sumber daya lokal dan keanekaragaman serta mengejar ketertinggal di dunia Iptek.
Keempat, menjadikan Indonesia sebagai pusat penelitian berbasis sumber daya alam dan keanekaragaman lokal, baik itu hayati, geografi, maupun seni budaya.
Kelima, menjadi fasilitator dan enabler industri yang melakukan pengembangan produk berbasis riset, serta menciptakan industri berbasis riset yang kuat dan berkesinambungan untuk jangka panjang.
Keenam, menjadi platform penciptaan SDM yang unggul di setiap bidang kelimuan dan entrepreneur berbasis inovasi Iptek.
Ketujuh, meningkatkan dampak ekonomi langsung dari berbagai aktivitas riset dan menjadikan Iptek sebagai tujuan investasi jangka panjang dan penarik devisa bagi Indonesia.
Itu lah sepuluh poin arah dan target dari lembaga pemerintah yang bernama BRIN, seperti biasa di atas kertas arah dan tujuan pendirian BRIN memang sudah sangat baik dan kelihatannya achievable.
Meskipun kemudian fakta dilapangan ternyata ada tantangan tersendiri yang tak semudah dan seindah arah dan tujuan di atas kertas.
Kita tahu, dalam mengelola lembaga baru ini pemerintah menggunakan sistem two-tier management seperti Dewan Komisaris dan Dewan Direksi di perusahaan biasa.
Dalam konteks BRIN, ada Dewan Pengarah atau steering commitee dan ada pelaksana harian yang dipimpin oleh seorang dengan sebutan Kepala BRIN.
Nah, yang menjadi kontroversi kemudian individu yang menjadi petinggi dari lembaga integral riset ini, diisi oleh orang yang kuat dikenal sebagai seorang politisi, yakni Ketua Umum  PDIP yang kebetulan saat ini merupakan partai politik penguasa, Megawati Sukarno Putri.
Meskipun misalnya, Megawati memiliki kapabilitas mumpuni secara manajerial dan memiliki pengalaman sangat panjang di dunia politik serta memiliki ketertarikan yang cukup kuat pada dunia riset dan teknologi, politisi tetap saja politisi, yang ujungnya akan melahirkan riuh rendah pro dan kontra yang sebenarnya tak perlu bagi sebuah lembaga negara yang berurusan dengan riset ini.
Tetapi penempatan Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN itu tak terhindarkan, terlepas dari apapun dasar dari kontroversi tersebut. Karena seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 33 tahun 2021 Pasal 7 ayat 2, menyebutkan bahwa jabatan Ketua Dewan Pengarah BRIN dijabat secara ex officio oleh Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Dan Megawati adalah Ketua Dewan Pengarah BPIP, jadi jabatan Dewan Pengarah BRIN tak ada sangkut pautnya dengan kapabilitas individu tersebut.
Andai pun mau digugat, gugatlah Perpres nomor 33 tahun 2021 tentang Pendirian BRIN tersebut.Â
Kendati demikian saya pun agak kurang paham kenapa dalam Perpres tersebut Kepala Dewan Pengarah BPIP menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN secara ex officio yang bersifat mandatory seperti itu.
Padahal secara kasat mata agak sulit menemukan benang merah keterkaitan secara langsung antar kedua lembaga tersebut, kecuali dikait-kaitkan, dan menurut saya logikanya tak masuk akal.
Mungkin karena Pancasila itu dasar negara Indonesia, jadi Ketua Dewan Pengarah BPIP bisa mengarahkan agar apapun upaya riset, invensi dan inovasi yang dilakukan oleh BRIN tak boleh keluar dari koridor Pancasila.
Kalau begitu, kenapa Ketua Dewan Pengarah BPIP secara Ex officio tidak menjadi Ketua Dewan Pengarah semua lembaga bentukan pemerintah yang menggunakan two tier system, agar tak keluar dari koridor semangat Pancasila.
Selain masalah pimpinan BRIN yang menjadi kontroversi, belakangan masalah teknis integrasi berbagai bagian riset milik pemerintah yang tersebar di setiap kementerian dan lembaga pemerintah menjadi masalah lain yang menjadi sumber kegaduhan baru.
Seperti dalam kasus yang mencuat 2 hari belakangan saat Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang telah beroperasi selama tiga dekade mulai dintegrasikan ke dalam BRIN dan berganti nama menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman.
Mengutip berbagai informasi dari sejumlah media daring nasional, akibat integrasi Lembaga Eijkman ke dalam BRIN ada sekitar 71 tenaga peneliti yang berstatus honorer harus diberhentikan.
Hal ini kemudian yang menjadi sumber kegaduhan baru, karena untuk menjadi peneliti itu tak mudah, apalagi di lembaga sekelas Eijkman yang sudah sohor kemana-mana.
Memberhentikan 71 orang peneliti dengan kapabilitas bagus tentu saja akan menjadi kerugian tersendiri bagi lembaga peneliti manapun di dunia ini, meskipun sebenarnya itu sudah bisa diprediksi bakal terjadi apabila reorganisasi lembaga yang menaunginya harus dilakukan.
Apalagi integrasi ini dilakukan di sebuah lembaga pemerintah yang aturannya sangat birokratis, bukan hanya di BRIN urusan teknis kepegawaian akibat  integrasi atau perubahan status lembaga pemerintah menjadi masalah.
Hal yang sama pernah terjadi juga saat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk pada tahun 2010 lalu. Hingga tahun 2015, atau 5 tahun setelah OJK berdiri, ribuan pegawai asal Bank Indonesia penugasan di OJK statusnya masih belum jelas.
OJK itu lahir hasil dari bersatunya salah dua divisi besar di BI yang bernama Departemen Pengawasan Perbankan dan Pengawasan Lembaga Keuangan non Bank dengan sebuah badan yang berada di bawah Kementerian Keuangan yakni Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) yang sebagian besar pegawainya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ketika OJK lahir berarti terjadi integrasi kepegawaian di kedua organisasi besar itu, dan itu memang cukup rumit membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk membuat sebuah sistem kepegawaian yang ajeg.
Dan ini lah yang terjadi pada BRIN saat ini, akan banyak keributan terjadi saat integrasi dilakukan apalagi BRIN dengan anggaran Rp 10,5 triliun bakal menyatukan seluruh divisi penelitian dan pengembangan di kementerian dan lembaga milik negara serta lembaga seperti Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Jadi apa yang terjadi di BRIN dan Eijkman ini adalah konsekuensi logis yang tak tehindarkan dari reorganisasi lembaga riset negara ini.
Masalahnya, urusan kepegawaian Eijkman ini menjadi lebih ramai lantaran ada unsur politis disana, jika dilihat yang ramai di media sosial, ada sejumlah pihak yang mencoba menari ditengah gendang pihak lain, menghubungkan keberadaan Megawati sebagai Ketua Dewan pengarah BRIN dengan perlakukan badan tersebut terhadap para pegawai Eijkman yang diberhentikan.
Hal seperti ini seharusnya sudah bisa diantisipasi sejak awal oleh Jokowi dan pemerintahannya, untuk tidak menempatkan politisi sebagai Pimpinan di lembaga negara seperti BRIN ini.
Andai tak ada politisi di BRIN, mungkin kegaduhannya tak akan seramai seperti saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H