Salah satu wujud dari fenomena ini dan menjadi masalah bagi perkembangan politik di Indonesia adalah politik identitas yang sangat kental dengan nuansa agama.
Sebenarnya, nuansa kebangkitan konservatisme agama atau dalam konteks Indonesia bisa disebut konservatisme Islam, sejak awal sudah sangat mudah untuk diobservasi bahkan oleh orang awam seperti saya sekalipun.
Meluasnya pemakaian jilbab misalnya, di KRL Bogor-Jakarta para penumpang wanita bisa dikatakan 80 persennya menggunakan jilbab.
Di kantor pun kini bukan hal aneh lagi jika menyaksikan banyak pekerja yang melakukan shalat sunnat Dhuha sebelum mereka menjalankan aktivitiasnya.
Para pelaku bisnis Ibadah Umrah pun laris manis, karena kesadaran untuk beribadah kini semakin tinggi.
Fenomena ini merupakan bagian dari konservatisme Islam yang diadopsi menjadi gaya hidup sehari-hari masyarakat yang kemudian memunculkan homogenisasi gaya hidup muslim di Indonesia.
Kaum mayoritas secara kasat mata tengah mengalami peningkatan dalam hal "attachment to Islam".
Nah, dalam situasi dan kondisi perkembangan konservatisme Islam di Indonesia seperti saat ini, yang sebenarnya hingga titik tertentu ini sangat baik.Â
Namun, menjadi masalah manakala konservatisme Islam ini dipergunakan oleh sebagian pihak untuk mengentalkan politik identitas bernuansa agama hanya untuk kepentingan politik elektoral, yang terkadang secara sengaja membenturkan antara ajaran Islam dengan toleransi terkait kebhinekaan bangsa ini yang sudah given bahkan sebelum Islam masuk ke Indonesia.
Mempolitikan identitas untuk kepentingan politik memang selalu menjadi masalah pelik di negeri ini atau negara manapun di dunia ini
Lantaran politik identitas merupakan bagian dari sebuah pendekatan politik yang wajar saja untuk dilakukan, yang menjadi persoalan kemudian, ketika pendekatan politik identitas melewati batas kewajaran dan kewenangan yang hanya melahirkan sektarianisme belaka  dan pada akhirnya membelah masyarakat.