Tentu kita masih ingat, saat Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 tengah hot-hot-nya, kita melihat elit politik bermesraan dengan mereka yang menggunakan jubah ulama, sebagai bagian dari penggunaan populisme Islam.
Hingga muncul drama panjang berupa politisasi agama, mulai dari menggiring kebencian melalui mimbar-mimbar ceramah keagamaan diberbagai forum dan mesjid hingga politisasi ibadah di tengah jalan melalui "aksi bela ulama"
Kita melihat dengan terang benderang, orang-orang melakukan kampanye khilafah dan konservatisme beragama berkoalisi dengan elit politik untuk melawan petahana.
Namun, ketika pemilu 2019 usai, dan Prabowo Subianto yang saat itu dianggap sebagai simbol perlawanan dari mereka yang berseberangan dengan pemerintah berangkulan dengan Jokowi yang dianggap sebagai tokoh utama yang harus diperangi, sumpah serapah langsung berhamburan kepada orang yang sebelumnya di puja-puji tersebut.
Di sini jelas terlihat, politik saling menunggangi kepentingan terjadi.
Meski narasi populisme Islam yang cenderung konservative akan tetap menjadi jargon di kontestasi politik 2024, saya kira arus derasnya masih tak akan mampu menembus benteng kelompok Islam moderat, yang walau lebih banyak senyap di dunia maya  tetapi faktanya merekalah yang lebih dominan di dunia nyata.
Mereka yang selama ini menggaungkan populisme Islam, tengah sibuk mencari personifikasi unggulan yang bisa dijadikan simbol bagi perjuangan mereka.
Dan sepertinya salah satu calon yang paling layak untuk diusung oleh mereka adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, selain ada pula nama Agus Harinurti Yudhoyono (AHY) Â Ketua Umum Parta Demokrat, yang partai -nya terilhat lebih oposisi dibanding PKS yang sejak awal mendeklarasikan dirinya sebagai oposisi.
Secara elektabilitas Anies cukup moncer dalam survei yang dilakukan berbagai lembaga politik setahun belakangan.
Dan Anies pun secara personal sangat terampil menggunakan jargon, memainkan diksi dan pandai memaksimal momen yang berkaitan dengan tugasnya sebagai Gubernur DKI untuk kepentingan politik ke depannya.
Manuver-manuver politik yang ia lakukan kerap ditujukan untuk meraih simpati dari kelompok Islam konservative yang kebanyakan merupakan pendukungnya, meskipun belakangan dalam beberapa kesempatan yang berkaitan dengan tugasnya ia mencoba terlihat lebih prural, untuk meraih simpati kelompok yang berbeda.