Memang fakta yang ada dihadapan kita saat ini, seperti misalnya di Kementerian BUMN yang memiliki 2 posisi Wamen mereka bisa bersinergi saling melengkapi dengan pembagian tugas yang sangat jelas.
Hal itu bisa terjadi, jika kebutuhannya untuk posisi Wamen itu memang ada, bukan "diada-adakan".Â
Lain cerita, jika posisi Wamen di sebuah Kementerian itu "diada-adakan", bisa jadi Wamen tersebut sebagai pelengkap penderita, hanya mengurusi urusan administratif yang sebenarnya bisa ditangani oleh seseorang dengan jabatan tak setinggi Wamen dengan fasilitas hampir sama dengan menteri.
Artinya keberadaan Wamen disitu, selain menjadikan sebuah kementerian menjadi tak efektif, juga tidak efesien. Apalagi jika dalam perjalanannya antara menteri dan wamen bergerak tak harmonis, visi dan misi mereka berbeda.
Birokrat-birokrat yang berada dibawahnya akan dibuat bingung, siapa yang harus mereka ikuti, ujungnya tugas-tugas yang dibebankan kepada kementerian tersebut akan berantakan.
Ini lah yang akan terjadi, jika keberadaan posisi wamen hanya untuk melengkapi pragmatisme politis, dalam rangka memenuhi jatah para stakeholder di lingkaraan kekuasaan yang belum terakomodasi.
Untuk mengakomodasi kepentingan tersebut, terpaksalah jabatan itu harus "diada-adakan". Jika demikian yang terjadi, ya cilaka duabelas, negara kok dijadikan bancakan.
Kendati kemungkinan tersebut sangat mungin terjadi, tetapi saya masih percaya Presiden Jokowi tak akan bertindak separah itu. Ia tentunya ingin meninggalkan legacy positif sebelum menanggalkan kekuasaanya, dan dikenang sebagai Presiden yang telah bekerja dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat melalui pemerintahan yang efektif dan efesien.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI