Gerindra Ahmad Muzani mengklaim bahwa Presiden Jokowi membebaskan para menterinya untuk menaikan elektabilitasnya jelang Pemilihan Presiden 2024 yang akan datang.
Sekretaris Jenderal Partai"Presiden memberikan kebebasan kepada semua menterinya untuk melakukan menaikkan popularitas dan elektabilitas dan saya kira sebagai sebuah proses demokrasi ini cara yang sehat untuk memilih pemimpin," kata Muzani seperti dilansir Kompas.TV, Senin (08/11/21).
Ia yakin niat sejumlah menteri maju sebagai capres 2024 tak akan mengganggu stabilitas pemerintahan, dan dan niat itu wajar dalam iklim demokasi seperti saat ini.
Muzani juga menambahkan bahwa siapapun menteri yang berniat ikut serta dalam kontestasi pilpres 2024 tak perlu mengundurkan diri dari jabatannya, karena aturan formal yang ada saat ini tak melarang hal tersebut, sepanjang yang bersangkutan belum secara resmi dicalonkan oleh partai politik pengusungnya seperti yang tertuang dalam Pasal 7 dan 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden.
Namun, tetap saja menurut sejumlah pengamat politik hal tersebut kurang etis atau bisa disebut legal tapi tidak etis. Mengapa demikian lantaran bisa saja memicu pork barrel politic, yang punya potensi menggerus kualitas demokrasi selain tak berkeadilan.
Pork Barrel Politic atau politik gentong babi dalam prespektif ilmu politik merupakan sebuah bentuk tindakan politik yang disebut patronase. Sebagai pejabat publik para menteri memiliki akses lebih terhadap sumber daya publik, yang ia bisa gunakan untuk kepentingan politiknya.
Jadi menurut buku "Politik Uang di Indonesia" yang ditulis oleh Profesor ilmu politik Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Aspinall Edward dan Mada Sukmajati, politik gentong babi bisa di definisikan sebagai kegiatan yang ditujukan kepada publik, didanai dari dana publik dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu.
Pemaknaan tersebut memang tidak terlepas dari sisi historis dari “gentong babi” yang merujuk pada peristiwa Perang Saudara Amerika Serikat (1861–1865). Pada masa itu, para tuan memberikan daging babi asin kepada para budak untuk memacu bekerja dengan sungguh-sungguh,
Jadi siapa yang paling cepat, paling banyak, dan paling kuat dalam menyelesaikan pekerjaan dia boleh mengambil babi asin itu dalam gentong.
Cara seperti ini kemudian direproduksi dalam dunia politik, yang pertama digunakan oleh Wakil Presiden Amerika Serikat John J Calhoun pada 1817 ketika mengusulkan sebuah kebijakan yang disebut Bill Bonus yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang menghubungkan Timur dan Selatan ke Barat Amerika. Dananya akan diambil dari laba bonus Second Bank of the United States (Bank Kedua Amerika Serikat).
Di Indonesia, biasanya politik gentong babi ini banyak terjadi pada saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), petahana akan diuntungkan karena akses mereka terhadap program-program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat terutama yang berkaitan dengan bantuan sosial sangat besar, sehingga masyarakat menganggap kandidat yang bersangkutan memperjuangkan hak dan kebutuhan mereka alhasil kemudian dianggap layak untuk dipilih kembali.
Pun demikian dengan Menteri, apalagi menteri-menteri yang memiliki bidang bersentuhan langsung dengan masyarakat sehingga potensi untuk menunggangi kegiatan yang seharusnya murni untuk kepentingan publik tanpa embel-embel politik sebut saja misalnya di Kementerian Sosial, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal & Transmigrasi, atau Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian-Kementerian lain di bidang perekonomian dan Sosial.
Sebenarnya siapa sih menteri Jokowi yang sibuk menaikan elektabilitas untuk nyapres di 2024?
Sampai sejauh ini tak ada satu pun menteri di Kabinet Jokowi jilid II yang sudah memproklamirkan dirinya secara resmi menjadi Capres atau Cawapres dalam Pemilu 2024 nanti.
Sama-samar yang terlihat sih, gelagat dan sejumlah pernyataan partai politik yang mendukungnya, hingga saat ini hanya ada 2 menteri di Kabinet Indonesia Maju yang bakal maju di Pilpres 2024, yakni Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Pencapresan Prabowo hanya digadang-gadang oleh Sekjen Gerindra Ahmad Muzani dan belum menjadi keputusan resmi partai. Airlangga baru dipromosikan sebagai capres tunggal dari Partai Golkar oleh para pengurus DPP.
Memang ada sejumlah nama lain yang kebetulan saat ini bertugas menjadi menteri Jokowi yang menghiasi daftar calon capres atau cawapres berbagai versi lembaga survei, sebutlah misalnya Tri Risma Harini, Sandiaga Uno, Erick Thohir, bahkan hingga Luhut Binsar Pandjaitan.
Namun, mereka sebenarnya tak pernah terlihat memiliki ambisi apalagi secara politik para menteri tersebut tak memiliki kuasa untuk mencalonkan dirinya sendiri sebagai capres tanpa dukungan dari partai politik.
Risma mengaku tak berpikir untuk nyapres karena "enggak punya duit". Sandiaga Uno saya kira orang yang paham kesantunan, meskipun elektabilitasnya lumayan baik kecuali Prabowo mengalah dan membiarkan Sandi naik, sesuatu yang saat ini sepertinya tak akan terjadi.
Pun demikian dengan Erick Thohir dan Luhut Binsar Pandjaitan, mereka sampai dengan tulisan ini dibuat tak memperlihatkan gelagat akan maju menjadi capres.
Tetapi ini kan perkara politik, kita tak tahu persis apa yang terjadi dibelakang layar, padahal dalam politik yang dibelakang layar itulah yang sebenarnya terjadi.
Harapannya sih siapa pun pejabat publik yang nantinya akan maju menjadi capres atau cawapres dapat menghindari politik gentong babi ini, menggunakan kekuasaan dan aksesnya untuk kepentingan politik mereka sendiri.
Karena jika kita mengacu pada berbagai sudut pandang ilmu politik, Pork Barrel Politic ini bisa berdampak serius, laku politik seperti ini akan membuat pemilih rasional perilakunya tergerus, mereka akan mempertimbangkan pilihannya atas dasar untung rugi dri aspek materi.
Padahal ketika kita memilih seseorang untuk menjadi pemimpin sejatinya yang harus dilihat rekam jejaknya, integritas, kapabilitas dan kebijakan-kebijakan yang diambilnya saat ia bekerja untuk negara.
Kemudian persaingan antar kandidat menjadi tak setara, level at playing field-nya menjadi hilang. Kandidat yang memiliki akses besar terhadap sumber daya negara, menjadi sulit disaingi oleh kandidat lain.
Lantas, bagaimana cara membuat "perlombaan" ini menjadi menarik, berkeadilan, dan jujur? Salah satunya ya aturan dan pengawasannya yang harus lebih diperkuat, serta jangan lupa literasi politik masyarakat harus ditingkatkan.
Dengan demikian, praktik politik gentong babi ini bisa dieliminir seminimal mungkin, meskipun itu bukan perkara mudah. tapi ya paling tidak ancaman dari praktik politik gentong babi lambat laun tergerus apabila ada keaktifan masyarakat untuk mau menolak dan menentangnya.
Ini sebuah alur logika yang sederhana, namun sulit untuk diterapkan. Kesadaran politik masyarakat yang sudah baik sudah seharusnya dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan demi terciptanya kehidupan demokrasi yang lebih baik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H