Ketika diminta diturunkan oleh Presiden menjadi Rp. 490 ribu  pastinya mereka akan berteriak dan dengan asumsi harga pokok tadi mereka harus menanggung kerugian 800 ribu unit x Rp.140 ribu yakni sebesar Rp. 112 miliar rupiah.
Tapi anehnya para pelaku jasa kesehatan test PCR ini diem-diem bae, dan dalam jangka waktu paling lama seminggu sudah bisa menyesuaikan harga jasanya tersebut tanpa drama.
Jika benar asumsi keuntungannya wajar disekitar 30 persenan, untuk bisa menurunkan harga jualnya mereka paling tidak harus menghabiskan stock yang ada terlebih dahulu sebelum memberikan harga baru yang lebih murah andaipun dipakasakan sudah pasti pelaku bisnis ini sudah berguguran, fakta di lapangan para pelaku bisnis test PCR malah tambah marak.
Dengan logika seperti itu, artinya pelaku jasa kesehatan sebenarnya selama ini memperoleh harga pokok jauh dibawah harga jual ditingkat konsumen bisa 2 hingga 3 kali lipat.
Apalagi ketika pemerintah Presiden Jokowi kembali meminta harga jasa test PCR diturunkan menjadi Rp.300 ribu.
Dan dalam beberapa hari kemudian berhasil dieksekusi oleh menteri kesehatan dan para pelakunya baik-baik saja artinya harga pokok test PCR ini bisa jadi ada dikisaran Rp 100 ribu-an saja.
Jadi selama ini mereka para pelaku bisnis test PCR ini sudah cuan dalam jumlah yang fantastis masuk akal juga jika hitung-hitungan ICW keuntungan mereka dalam "membisniskan pandemi Covid-19" ini mencapai angka Rp.10 triliun.
Ya sah sah saja sih, namanya bisnis ya harus untung tapi mbo ya pakai hati nurani lah, ditengah kesulitan yang mendera masyarakat masih saja ditekan dengan harga test PCR yang sangat tinggi demi keuntungan pribadi yang kurang wajar, seperti itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H