Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Mimpi Buruk Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, akibat Salah Pilih Pemenang Tender?

15 Oktober 2021   11:41 Diperbarui: 15 Oktober 2021   11:49 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keberadaan sarana transportasi kereta api dengan kecepatan 350 km per jam yang dikategorikan dalam kereta cepat merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi sebuah negara.

Kereta cepat dianggap prestisius yang menjadi penanda atau simbol bagi sebuah negara agar disebut negara maju dan modern atau paling tidak tengah menuju gerbang negara modern, karena kecanggihan teknologinya.

Indonesia akan segera memiliki kereta cepat rute Jakarta -Bandung berkecepatan 350 km per jam yang peletakan batu pertamanya telah dilakukan pada Januari 2016 lalu oleh Presiden Jokowi.

Target megaproyek seharusnya sudah selesai tahun 2021 ini tetapi lantaran sejumlah sebab diantaranya kendala teknis, pendanaan dan pandemi Covid-19 Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) kemungkinan akan molor 12 bulan, baru akan selesai tahun 2022 akhir.

Saat ini progres pembangunannya sudah mendekati 80 persen. Proyek kereta cepat sepanjang 142 km yang awalnya menelan investasi Rp.86,25 triliun kini membengkak Rp. 28 triliun menjadi Rp. 114,25 triliun.

Kondisi ini menjadi polemik di tengah masyarakat apalagi kemudian untuk menambal pembengkakan anggaran tersebut melalui Peraturan Presiden (Perpres) nomor 93 tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres nomor 107 tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung, Presiden Jokowi memberi lampu hijau dananya berasal dari APBN.

Sesuatu yang sebelumnya diharamkan oleh Pemerintah Jokowi. Pemerintah beralasan, opsi pendanaan dari APBN terpaksa harus diambil lantaran 4 BUMN yang terlibat dalam megaproyek KCJB PT. WIKA, PT KAI, PT.Jasa Marga, dan PT. Perkebunan Nusantara VIII terkena dampak pandemi Covid-19 akibatnya tak mampu lagi menyetor modal karena kemampuan finansial mereka turun.

Seperti diketahui, dalam membangun megaproyek KCJB dibentuk perusahaan patungan bernama PT.Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang terdiri dari 2 konsorsium,  4 BUMN tadi yang tergabung di bawah bendera PT. Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan Konsorsium Beijing Yawan dari China dengan komposisi kepemilikan saham 60 persen konsorsium BUMN  Indonesia dan 40 Konsorsium China.

Dengan komposisi kepemilikan saham seperti itu, Konsorsium BUMN PSBI harus menyetor modal Rp. 12,94 triliun, sementara Konsorsium Beijing Yawan dengan kepemilikan sebesar 40 persen menyetor modal Rp. 8,63 triliun untuk menggenapi modal dasar PT.KCIC yang sebesar Rp.21,56 triliun seperti yang sudah ditetapkan, mengacu pada 25 persen dari asumsi awal kebutuhan biaya proyek KCJB senilai Rp. 86,25 triliun atau senilai US$ 6,07 milyar.

Dengan  25 persen biaya proyek dipenuhi dari modal dasar, 75 persen dana awal sebesar Rp.64,69 triliun yang dibutuhkan merupakan pinjaman yang berasal dari China Development Bank.

Dana tambahan yang dikucurkan Pemerintah dari APBN ini, nantinya akan menggunakan model penyertaan modal negara ke PT KAI yang dalam Perpres 93/2021 menjadi leader Konsorsium BUMN menggantikan BUMN lain PT WIKA.

Membengkaknya nilai proyek KCJB ini disebabkan oleh sejumlah masalah, antara lain perubahan desain dan rute karena kondisi geografis dan geologis yang dinilai berbeda dari perkiraan awal.

Kondisi ini sebenarnya tak perlu terjadi andai feasebility study yang dilakukan para pihak yang terlibat dilakukan secara menyeluruh dan lengkap, kawasan Walini dan Padalarang di perbatasan Bandung yang dijadikan alasan perubahan desain dan rute ya memang seperti itu, tak mungkin secara geografis dan geologis berubah-rubah dalam waktu pendek .

Masalah feasibility study dalam pembangunan proyek KCJB yang belum lengkap inilah  sedari awal memang banyak dipermasalahkan oleh banyak pihak.

Selain itu ada sejumlah hal lain yang membuat KCJB itu menuai polemik, beberapa pihak termasuk Menteri Perhubungan Ignasius Jonan kala itu kurang setuju dengan proyek KCJB ini mereka berargumen jarak yang pendek antara Jakarta-Bandung tak cocok untuk membangun kereta cepat. Kereta cepat menurut mereka lebih layak untuk trase Jakarta-Surabaya yang jaraknya lebih jauh. 

Proyek KCJB ini pun bertambah ramai karena persaingan antara China dan Jepang. Studi kelayakan proyek kereta api cepat ini awalnya dilakukan oleh Jepang pada tahun 2014. 

Ditengah jalan, tiba-tiba China masuk dan melakukan studi kelayakan serupa setelah nota kesepahaman antara Indonesia dan China ditandatangani.

Pemerintah saat itu beralasan membuka peluang bagi pihak lain di luar Jepang agar pemerintah Indonesia sebagai end user proyek kereta api cepat ini bisa memiliki pilihan lain.

Ketika akhirnya keduanya beradu tender, Jepang menawarkan biaya lebih tinggi yakni sebesar US$ 6,2 milyar dan meminta jaminan pemerintah dalam masalah pembiayaan selanjutnya.

Sementara China menyanggupi biaya yang lebih rendah senilai US$ 5,5 milyar dan tanpa meminta jaminan pemerintah atas berbagai masalah pembiayaan kedepannya, semua pendanaannya akan menggunakan skema business to business.

Keunggulan komparatif inilah yang kemudian membuat pemerintah Indonesia lebih memilih China untuk melaksanakan pembangunan proyek KCJB ini.

Ironisnya, saat ini semua keunggulan komparatif keterpilihan China dibanding pihak Jepang dalam proyek tersebut faktanya sirna menguap. 

Biaya proyek yang ditawarkan oleh China saat tender dilakukan sebesar US$ 5,5 milyar seiring perjalanan waktu terlepas dari alasan apapun menggelembung atau mengalami cost overrun menjadi US$ 8 milyar bahkan diatas tawaran yang diberikan oleh Jepang yang hanya US$ 6,2 milyar.

Kemudian, terkait skema pendanaan yang tak melibatkan uang rakyat karena menggunakan skema business to business seperti yang disanggupi China saat tender dilakukan kini tak valid lagi, bukan cuma jaminan yang diberikan pemerintah, bahkan pemerintah harus turun tangan langsung mendanai proyek ini menggunakan APBN yang nota bene-nya uang rakyat untuk pembangun proyek ambisius berbau mercusuar ini.

Padahal kita tahu, Indonesia saat ini tengah membutuhkan dana yang sangat besar untuk pengendalian pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional yang tahun ini mencapai Rp. 744,7 triliun.

Dengan anggaran yang super duper jumbo tersebut defisit APBN pada tahun 2021 ini membengkak menjadi 6 persen, dan dalam jangka waktu satu tahun ke depan dalam penyusunan APBN 2023 harus bisa diturunkan ke angka maksimal 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Dengan dibebankannya sebagian anggaran pembangunan proyek KCJB ini ke dalam APBN, tambah berat saja kondisi keuangan negara mungkin pilihannya harus berhutang lagi.

Sebagai tambahan informasi saja, tahun depan menurut data APBN yang dirilis Kementerian Keuangan Indonesia harus membayar bunga utangnya saja sebesar Rp.405 trliun.

Tapi apa mau dikata, 80 persen proyek pembangunan KCJB ini sudah diselesaikan, secara ekonomi, sosial, dan politik agak sulit bagi pemerintah Jokowi untuk membiarkan proyek ambisius dengan feasebility yang kurang jelas ini tak diteruskan alias dibiarkan mangkrak.

Keputusan Pemerintah Indonesia untuk terus membiayai proyek KCJB berapapun besarnya dan apapun risikonya ini, mungkin sudah masuk ke dalam "sunk cost trap".

Sunk cost trap menurut situs Investopedia merupakan kecenderungan orang atau kelompok yang bertidak secara irasional untuk meneruskan aktivitas yang sebenarnya tidak sesuai dengan harapan mereka, lantaran orang atau kelompok tersebut mengganggap waktu dan biaya yang telah dikeluarkan cukup besar.

Jadi dalam proyek KCJB ini seperti fait accomply bagi pemerintah, suka tak suka ya harus diselesaikan. 

Ya harapannya sih semoga saja memang benar proyek KCJB ini akan memiliki multiplier effect yang besar bagi pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat Jakarta dan Bandung terutama yang berada di sekitar stasiun pemberhentian.

Mungkin dalam polemik pembengkakan anggaran dan molornya waktu pengerjaan proyek KCJB ini terlepas dari alasan pandemi atau apapun itu, ke depan ada baiknya pemerintah lebih cermat dalam menunjuk pihak-pihak yang memenangkan tender proyek strategis nasional.

Andai saja Jepang yang saat itu dimenangkan oleh Pemerintah Indonesia dalam proyek KCJB ini mungkin ceritanya akan lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun