Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menakar Kemungkinan Industri Rokok Menjadi " Sunset Industry"

7 Oktober 2021   15:23 Diperbarui: 7 Oktober 2021   16:48 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu tentang rokok belakangan mulai ramai lagi menjadi bahan perbincangan publik setelah Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Seruan Gubernur nomor 8 tahun 2021 tentang pembinaan kawasan dilarang merokok.

Menjadi tambah ramai isu rokok ini setelah Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta berkirim surat kepada Michael R. Bloomberg pendiri Bloomberg Initiave yang merupakan bagian dari Bloomberg Philantropies salah satu pelopor dan donatur kampanye anti-rokok dunia.

Dalam surat tersebut intinya Anies bermaksud untuk meminta dukungan atau dalam bahasa Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria "ajakan kolaborasi" kepada Bloomberg untuk membuat Jakarta bebas 100 persen dari reklame rokok di dalam ruangan, setelah sebelumnya Jakarta bebas  dari segala reklame rokok di luar ruangan atas dukungan Bloomberg.

Terlepas dari segala kontroversinya, tindakan dan kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait pengetatan larangan beriklan dan mengkonsumsi rokok di tempat publik belakangan memang menjadi tren di hampir seluruh wilayah Indonesia bahkan secara global sekalipun.

Kebijakan ini merupakan salah satu cara untuk mengendalikan pertambahan jumlah perokok terutama di kalangan pemula, khususnya di level anak dan remaja.

Kebijakan itu harus dilakukan mengingat pertambahan jumlah perokok pemula menurut hasil survei yang dilakukan oleh Atlas Tembakau Indonesia pada tahun 2020 menunjukan bahwa usia rata-rata pertama kali merokok ada di rentang 15-19 tahun, angkanya mencapai 54 persen.

Regulasi seperti yang dikeluarkan Anies Baswedan ini bisa jadi membuat industri rokok terhantam cukup keras, mulai dari hulu hingga hilir. Meskipun sebagian pengamat ekonomi menyebutkan bahwa pengetatan atau larangan beriklan sekalipun tidak akan berpengaruh signifikan pada penjualan rokok secara keseluruhan.

Selain kebijakan pelarangan reklame dan pengetatan tempat merokok di ruang publik, industri rokok juga dihantam kenaikan tarif cukai rokok yang secara konstan dilakukan oleh pemerintah dari tahun ke tahun, menurut data yang dilansir oleh Kementerian Keuangan rata-rata kenaikan tarif cukai dari tahun 2009 sampai dengan 2021 sebesar 9,01 persen.

Sumber: Databoks
Sumber: Databoks

Rencananya tahun 2022 pemerintah kembali akan menaikan tarif cukai rokok yang besarannya akan diumumkan bulan Oktober 2021 ini. 

"Jadi kita berharap Oktober sudah mulai, karena juga bagi perusahaan lebih mudah melakukan forecasting untuk 2022 dan kita penyiapan pita cukainya pun akan lebih tertata rapi,"ungkap Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto, Kamis (28/08/21).

Semua isu terkait rokok ini sebenarnya bermuara pada urusan kesehatan dan ekonomi, konsumsi rokok itu menurut literatur-literatur kesehatan sangat merusak kesehatan makanya harus dikendalikan, dan tentu saja ada peran para pihak seperti Bloomberg Initiave beserta lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang di donori olehnya, yang memberi pencerahan kepada masyarakat tentang bahaya merokok sekaligus membuat langkah industri rokok ke depan menjadi sangat berat.

Makanya kemudian banyak pihak yang menyebut industri rokok itu sudah memasuki kategori "sunset industry". Industri yang akan mati perlahan karena tergerus jaman, seperti yang diungkapkan oleh salah satu pengamat ekonomi Faisal Basri 

"Industri rokok juga merupakan industri yang sudah mengalami sunset, jadi Indonesia harus siap untuk beralih ke industri lainnya,"katanya seperti dilansir Suara.com beberapa waktu lalu.

Apakah industri rokok di Indonesia saat ini sedang menuju sunset industry?

Sekilas, industri rokok  terlihat tengah menuju masa tenggelam seperti halnya matahari yang mulai terbenam di ufuk barat. 

Menurut sejumlah sumber bacaan yang saya dapatkan, ciri-ciri dari sebuah industri mulai tenggelam adalah industri tersebut para pemainnya  secara keseluruhan mengalami pertumbuhan negatif atau mengalami penurunan penjualan secara konsisten dari tahun ke tahun.

Kondisi  ini disebabkan oleh produknya yang sudah obsulete atau dianggap usang lantaran berbagai sebab sehingga tak diminati oleh konsumen.

Selain itu, ciri lain dari sunset industry adalah para pemain yang terlibat dalam industri tersebut sudah mulai menerapkan perang harga, strategi perang harga ini menunjukan bahwa mereka sudah tak mampu melakukan melakukan inovasi untuk membuat produk baru yang akan ditawarkan ke pasar.

Namun, harus diingat industri rokok itu sifatnya sudah seperti kebutuhan pokok yang tak begitu saja mudah digantikan, sehingga produk mereka menjadi usang dan tak diminati lagi.

Produk ini seperti halnya tekstil mungkin pertumbuhannya akan lamban karena pada dasarnya jika kita mengacu pada siklus kehidupan perusahaan rata-rata para pemain yang bergelut di industri pengolahan tembakau ini adalah perusahaan-perusahaan sudah memasuki tahap mature.

Dan salah satu ciri khas sebuah perusahaan itu sudah dalam kondisi mature, adalah pertumbuhannya lamban karena ruang untuk berekspansinya bertambah sempit.

Berbeda dengan perusahaan-perusahaan yang baru tumbuh, pasarnya masih cukup luas sehingga mereka bisa ekspansif yang ujungnya dapat memompa pertumbuhan setinggi mungkin.

Lebih jauh lagi industri rokok itu sebuah industri yang sangat khas, rokok memiliki kekuatan tersendiri meskipun memang dalam beberapa tahun belakangan terus mengalami penurunan penjualan, karena menurut data yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 jumlah perokok usia 15 tahun keatas berkurang sebesar 29,03 persen.

Selain karena isu daya beli, alasan kesehatan di tengah pandemi membuat banyak orang memutuskan untuk berhenti merokok.

Kondisi ini tentu saja berdampak kepada para pemain di industri rokok, hampir seluruh perusahaan rokok besar yang telah go publik atau emiten menunjukan kinerja yang kurang memuaskan.

Menurut data yang saya peroleh dari Bursa Efek Indonesia, IDX.co.id, PT HM Sampoerna.Tbk pada paruh pertama 2021 labanya susut hingga 15,4 persen menjadi Rp. 4, 13 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

PT. Gudang Garam.Tbk labanya tergerus hingga 39,53 persen dibandingkan semester pertama tahun 2020 lalu menjadi hanya Rp.2,31 triliun.

Pun demikian dengan PT. Bentoel International Investama.Tbk  penjualan mereka di paruh pertama tahun 2021 menurun cukup tajam sebesar 36, 3 persen menjadi Rp. 4,8 triliun, rugi bersih perusahaan berkode RMBA ini mencapai Rp 28,9 milyar.

Kondisi yang kurang menguntungkan ini akhirnya membuat manajemen Bentoel memutuskan untuk hengkang dari Bursa alias melakukan delisting.

British American Tobbaco sebagai pemegang saham pengendali memutuskan untuk melakukan tender offer untuk kembali membeli 7,52 persen saham publik dengan harga Rp.1.000 per lembar.

Harga yang ditawarkan ini lebih besar 226,8 persen lebih tinggi dibandingkan harga pentutupan saat saham RMBA di suspensi oleh pihak otoritas bursa setelah mereka mengumumkan keputusan kembali menjadi perusahaan tertutup.

Namun demikian, tak semua emiten rokok yang mengalami pertumbuhan negatif PT Wismilak Inti Makmur Tbk menanggung kenaikan hingga 44,56 persen di semester pertama tahun 2021 ini menjadi Rp 63,04 milyar dibandingkan periode yang sama tahun 2020.

Kondisi ini bisa terjadi lantaran Wismilak menjual rokok di rentang harga yang terjangkau oleh masyarakat sehingga volume penjualan selama pandemi ini mengalami peningkatan.

Hal itu menunjukan bahwa memang ada shifting preferensi rokok orang Indonesia, ke rokok yang harganya lebih terjangkau dan jenis rokok yang lebih murah  itu menurut Data dari Direktorat Jenderal Bea Cukai adalah rokok full flavour.

Dengan semakin mahalnya harga rokok "mild" karena cukainya tinggi, perokok lebih memilih merokok full flavour atau biasa disebut sigaret kretek lantaran tak terkena kenaikan cukai di tahun 2021 lalu.

Informasi diatas mungkin bisa menunjukan bahwa industri rokok di tengah tekanan yang terus makin berat belum layak dikategorikan sebagai "sunset Industry".

Tekanan para penggiat antirokok yang berdampak pada pembatasan reklame dan tempat merokok serta kenaikan cukai yang terjadi setiap tahun menurut Direktur Riset Center for Reform of Economic  Pieter Abdullah Tidak akan menurunkan secara signifikan konsumsi rokok di tanah air.

Pemilik industri rokok  masih akan berjaya hingga waktu yang cukup lama, Pieter pun menunjukan bahwa orang terkaya di Indonesia seperti dilansir Majalah Forbes masih dipegang para pemilik industri rokok, Budi Hartono dan Michael Hartono pemilik Djarum dan pemilik Gudang Garam Susilo Wonowidjoyo.

Dan harus dingat, kedua perusahaan tersebut tengah gencar melakukan diversifikasi usaha, PT Djarum bisnisnya kini merambah ke berbagai bidang mulai dari sektor perbankan, elektronik, minuman kemasan, elektronik, properti, telekomunikasi hingga digital.

Siapa yang tak kenal bank BCA yang merupakan holding keuangan di grup usaha Djarum ini, kemudian ada pula Polytron produsen barang elektronik yang cukup terkenal, Grand Indonesia dan Hotel Kempinski, GDP Venture hingga PT Sarana Menara Nusantara yang memiliki ribuan tower untuk kebutuhan telekomunikasi seluler.

Gudang Garam juga mulai bergerak memperlebar usahanya, seperti dilansir CNBCIndonesia.com di luar bisnis rokoknya saat ini Gudang Garam memiliki 6 perusahaan lain yang bergerak di berbagai bidang, mulai dari infrastruktur PT Surya Kerta Agung yang membangun jalan tol Kediri- Tulungagung.

Kemudian ada PT. Surya Dhoho Investama yang membangun dan mengelola Bandara Kediri, selain itu mereka pun memiliki sebuah maskapai penerbangan charter PT. Surya Air, PT Surya Pamenang di industri kertas dan PT. Graha Surya Media  dibidang media.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun