Jika lolos ke final maka Ginting menjadi orang ke-3 Indonesia yang mampu lolos ke final olimpiade, dan hebatnya setiap pemain Indonesia yang lolos ke final selalu meraih medali emas.
Hal ini membuktikan bahwa Indonesia merupakan salah satu kekuatan utama bulutangkis dunia. Bulutangkis bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi semacam identitas nasional yang mampu menembus batas sekat-sekat perbedaan.
Ketika olahraga  lain seperti kesulitan berprestasi ditingkat global, bulutangkis selalu menjadi penyelamat wajah Indonesia di mata dunia.
Namun, untuk sampai pada titik seperti ini bukan perkara mudah dan tercipta secara instan, ada sejarah panjang dibalik nama baik Indonesia yang mendunia di cabang olahraga bulutangkis ini.
Paling tidak ada 3 generasi "The Magnificent Seven" yang membangun nama kokoh Indonesia dalam kancah bulutangkis dunia.
Seperti halnya kisah koboi di film koboy klasik Maginificent Seven, seperti  kisah samurai di Seven Samurai, ada tujuh pebulutangkis Indonesia  di 3 generasi yang membuat nama Indonesia menjulang di olahraga tepok bulu ini.
Generasi pertama The Magnificent Seven Indonesia mulai dikenal dunia di akhir tahun 1950an.
Mereka terdiri dari Ferry Sonneville, Tan Joe Hok, Tan King Gwan, Eddy Joesoef, Njoo Kim Bie, Lie Pon Djian, dan Olich Solihin.
Ketujuh pebulutangkis itu merajai berbagai turnamen bulutangkis dunia, yang saat itu jumlahnya masih sangat terbatas.
Ferry Soneville mulai bersinar sejak menjuarai Malaysia terbuka 1955 dan Dutch Open 1956, puncaknya bersama keenam rekannya tersebut membawa Indonesia berjaya menjadi juara Thomas Cup 1958, ajang kejuaraan dunia beregu pria bulutangkis yang saat itu secara berturut-turut sebanyak 3 kali direbut Malaysia.
Sejak saat itu Indonesia terus berjaya, bersaing ketat dengan Malaysia dan Denmark untuk merebut Piala Thomas yang sangat bergengsi.