Panic Buying yang terjadi beberapa saat belakangan atas barang-barang yang dianggap masyarakat mampu menaikan imun tubuh sehingga bisa terhindar dari paparan Covid-19, salah satunya bersumber dari kecemasan yang datang dari dalam diri kita.
Panic buying sendiri secara sederhana berarti membeli barang dalam jumlah yang cukup besar meskipun sebenarnya kita belum tentu membutuhkannya dalam jumlah sebesar itu.
Kondisi panic buying pada akhirnya akan membuat barang-barang yang menjadi sasaran beli masif ini menjadi langka dan sesuai dengan prinsip ekonomi ketika demand melonjak, supply melorot maka harganya dipastikan bakal meroket.
Contohnya saat susu steril produksi Nestle bercap beruang diminati secara masif oleh masyarakat yang berbondong-bondong membeli barang tersebut dalam jumlah yang tak rasional, barang menjadi langka dan harganya naik tajam.
Saya mencoba membeli susu steril tersebut yang konon berkhasiat menaikan imun tubuh, ternyata untuk mendapatkannya susah sekali, seandainya pun ada harganya menjadi luar biasa mahal yamg biasanya ada dikisaran Rp. 8.500 hingga Rp. 9.000 per kaleng, saat ini menjadi paling murah Rp.13.000 bahkan ada yang hingga Rp. 20.000 per kaleng.
Pun demikian yang terjadi pada produk-produk vitamin, kelapa hijau hingga oksigen dan tabungnya.
Sebenarnya fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, tentunya kita masih ingat saat lockdown di berlakukan disalah satu kota di Australia, tisu toilet menjadi bahan langka karena diborong secara masif oleh masyarakat mereka.
Lantas kecemasan seperti apa sih sehingga bisa memicu panic buying tersebut, menurut sejumlah sumber referensi, Â kecemasan yang tinggi akibat ketidakpastian dimasa mendatang.
Pandemi Covid-19 menjadi sumber ketidakpastian tersebut akibatnya kecemasan mendominasi pikiran, dan kita kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diri.
Secara psikologis itu terjadi alamiah dalam diri manusia, hal tersebut merupakan mekanisme survival yang telah mengakar dalam diri.
Salah satu penyebab munculnya gangguan psikologis kecemasan adalah berbagai kabar yang disampaikan oleh media, baik media konvensional terutama berbagai platform media sosial.
Makanya kita harus bijak memilih dan memilah informasi yang kita konsumsi ditengah banjir informasi yang berseliweran dihadapan kita.
Memang tak semua orang mampu melakukan ini, apalagi dengan algoritma artficial intelegent yang cenderung membuat kita terkungkung dalam gelembung informasi sejenis, yang menjadikan kita menjadi seperti katak dalam tempurung.
Hal tersebut menjadikan kita melihat dunia dari sisi yang itu-itu saja, jika itu informasi negatif maka yang berdatangan ya informasi yang menimbulkan kecemasan sehingga kita tak bisa rasional lagi.
Ada baiknya kita menghindari sumber informasi tersebut, atau bisa juga dengan memperluas sumber informasi lain.
Selain itu pihak berwenang dalam hal ini pemerintah harus membuktikan bahwa ketersedian barang yang menjadi sasaran panic buying itu stoknya mencukupi.
Himbauan tanpa bukti meyakinkan bahwa stok tersedia akan sia-sia. Kecemasan akan tetap memenuhi relung masyarakat hingga kecemasan yang ada dalam pikirannya bisa dibuktikan sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H