Gonjang-ganjing, Â pro dan kontra rencana pengenaan pajak barang-barang kebutuhan pokok atau biasa disebut sembako dan pendidikan yang berujung polemik sebenarnya lumrah saja di era demokrasi seperti saat ini.Â
Bukan urusan teknis perpajakan dan proses legislasinya yang saya cermati disini, tetapi masalah komunikasinya.
Pemerintah Cq Kementerian Keuangan terlihat kedodoran menghadapi bombardir isu yang menurut pemerintah "tidak benar."
Jajaran petinggi Kemenkeu cenderung bersifat defensif dan terkesan menyalahkan pemahaman masyarakat tentang wacana revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Seperti yang diungkapkan oleh Staf Khusus Menkeu Yustinus Prastowo seperti dilansir Kompas.Com.
"Dapat kami sampaikan kemarin itu wacana PPN atas sembako dan jasa pendidikan yang ramai itu sebenarnya bagian kecil dari konsep RUU yang dipotong, dicabut sehingga bunyinya terlepas dari maknanya," ujarnya, Sabtu (12/06/21).
Selain itu, mereka malah menyoal dan mempermasalahkan bocornya draft beleid tersebut padahal yang seharusnya diperhatikan adalah esensinya, diawal isu ini naik kepermukaan tak ada penjelasan yang firm terkait pengenaan pajak sembako dan pendidikan tersebut, jika tak benar katakanlah itu tak benar.
Namun jika benar wacana revisi itu yang salah satu isinya mengenakan pajak sembako dan pendidikan katakanlah apa adanya.
Bukan dengan penjelasan yang normatif, mengawang-ngawang yang malah membuat masyarakat bertambah bingung, sehingga ketika ada pihak yang menggoreng isu yang tak sepenuhnya benar, masyarakat tanpa ragu-ragu menelannya, akhirnya polemik meluas dan tak terkontrol lagi, seperti yang terjadi saat ini.
Andai saja dari awal, pihak Kemenkeu langsung saja membuka secara komprehensif draft beleid itu dan dikomunikasikan kepada masyarakat mungkin polemik itu tak akan meluas.
Bisa jadi mungkin maksud pemerintah merancang revisi UU KUP Â itu sangat baik bagi sistem perpajakan Indonesia.