Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hikayat Porkas, SDSB dan Judi Resmi Milik Pemerintah serta Peran Robby Sumampow dalam Pengelolaannya

3 Juni 2021   16:16 Diperbarui: 3 Juni 2021   16:34 5018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin kita bisa membayangkan, keributan dan kegaduhan seperti apa yang akan terjadi andai Pemerintah Indonesia saat ini melegalkan perjudian seperti yang pernah terjadi di era Soekarno dan Soeharto dulu.

Sebenarnya perjudian di Indonesia itu memiliki sejarah yang cukup panjang, setidaknya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Saat itu perjudian tak hanya dianggap sebagai hiburan semata, tetapi juga sebagai sebuah alat untuk menyatukan berbagai kalangan.

Menurut sejumlah sumber referensi yang saya dapatkan, padai zaman kolonial Belanda, judi berlangsung dengan sebuah ordonansi atau peraturan yang dikeluarkan residen setempat.

Jadi meskipun perjudian pada dasarnya dianggap sebagai sesuatu yang tabu tapi lama kelamaan mulai muncul legitimasinya.

Di zaman Indonesia modern, pasca Kemerdekaan, judi buntut merebak dibeberapa kota besar di wilayah Indonesia. Di Bandung misalnya, ada judi buntut dengan sebutan toto raga yang mengacu pada olahraga pacuan kuda.

Kemudian pada tahun 1960-an pemerintah Sukarno saat itu melegalkan undian berhadiah yang dikelola oleh  Yayasan Rehabilitasi Sosial, sebuah yayasan yang didirikan oleh pemerintah untuk mengelola perjudian legal ini.

Pemerintah saat itu membutuhkan dana cukup besar untuk pembangunan, makanya mereka berusaha memenuhinya dengan cara mengelola perjudian, lantaran sudah hampir dapat dipastikan bisnis judi itu sangat menguntungkan.

Pengundian hadiah Yayasan Rehabilitasi Sosial dilakukan setiap satu bulan sekali. Nilainya pun cukup fantastis untuk ukuran tahun 1960-an mencapai 500.000 rupiah. Sementara nilai terendahnya berkisar antara 10.000-20.000 rupiah.

Tidak hanya undian hadiah milik pemerintah, masyarakat pun dihibur oleh jenis perjudian lain yang tidak berizin. Namanya "Lotere Buntut". Cara memainkannya hanya dengan menebak dua angka terakhir undian berhadiah yang dikeluarkan Yayasan Rehabilitasi Sosial.

Lotere Buntut ini bertebaran hingga ke pelosok-pelosok. Sasarannya adalah petani, buruh, dan pedagang-pedagang kecil. Tanpa memerlukan peraturan yang sulit, para pecandu permainan ini dapat langsung memasangkan taruhannya. Besaran hadiah yang didapat pun cukup menggiurkan, berkisar antara 60.000-80.000 rupiah.

Gubernur DKI Jakarta saat itu Ali Sadikin kemudian mencoba menarik dana masyarakat untuk pembangunan DKI melalui legalisasi perjudian termasuk judi buntut yang saat itu dikenal dengan Nalo singkatan dari National Lotere berdasarkan Undang-Undang nomor 11 tahun 1957.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun