Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

KPK dalam Balutan Masalah, Musabab Revisi UU KPK?

5 Mei 2021   10:17 Diperbarui: 5 Mei 2021   10:44 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tengah mengalami situasi yang sangat sulit. Masalah internal mendera mereka, pengaruh eksternal menghantam lumayan keras sendi-sendi tata kelola, fungsi, dan kewenangan lembaga anti rasuah ini.

Beberapa peristiwa di KPK yang terjadi belakangan, memotret dengan jelas kondisi KPK sepertinya terlihat mulai loyo dan tertatih-tatih dalam mengemban tugas pemberantasan korupsi di Tanah Air kita tercinta ini.

Krisis integritas dan krisis demoralisasi dialami oleh para pegawai KPK. Krisis integritas ditunjukkan saat beberapa pegawainya terlibat aksi lancung yang berkaitan langsung dengan tugas mereka dalam menangani kasus korupsi.

Salah satu pegawai KPK berinisial IGA di Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi, terbukti mencuri 1,9 kg emas batangan yang merupakan barang bukti korupsi mantan pejabat Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Yaya Purnomo.

"Bentuknya adalah emas batangan, kalau ditotal semua jumlahnya adalah 1.900 gram, jadi 2 kilo kurang 100 gram," kata Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan seperti dilansir Kompas.com, Kamis (08/04/21).

Kemudian, salah satu penyidik KPK berinisial SR ditangkap lantaran diduga memeras Walikota Tanjung Balai, H.M Syahrial sebesar Rp. 1,5 milyar.

Syahrial diduga terlibat kasus jual beli jabatan di wilayah yang dipimpinnya dan tengah dalam penyelidikan KPK.

Kasus ini kemudian berkembang hingga disebut-sebut melibatkan Wakil Ketua DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar Aziz Syamsudin.

Lebih lanjut, ada dugaan orang dalam KPK yang mengetahui terkait penggeladahan terlibat dalam bocornya informasi tersebut sehingga operasi penggeledahan di kantor PT. Jhonlin Baratama dalam kasus dugaan suap Ditjen Pajak di Kalimantan Selatan, berakhir zonk alias tak menghasilkan apapun.

Rentetan kejadian busuk yang melibatkan internal KPK ini oleh sejumlah pihak disebut krisis integritas tengah melanda KPK.

Sementara krisis demoralisasi  ditandai dengan banyaknya pegawai KPK yang mengundurkan diri dengan alasan alih status pegawai KPK menjadi ASN.

Menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Profesor Azyumardy Azra kedua krisis yang kemudian menyebabkan pelemahan fungsi dan kewenangan KPK tersebut karena revisi Undang-Undang KPK nomor 19 tahun 2020.

Azyumardy, mengatakan, staf-staf di KPK yang mempunyai integritas melihat bahwa perubahan status menjadi ASN dan apa yang terjadi di dalam seleksi komisioner serta di dalam revisi Undang-Undang KPK membuat mereka kehilangan harapan akan pemberantasan korupsi.

Atas dasar keyakinan bahwa revisi UU KPK itu melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, sejumlah pihak termasuk para guru besar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, mendukung upaya judicial review UU KPK tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sayangnya, upaya itu tak dikabulkan sepenuhnya oleh MK, seperti yang tertuang dalam putusan yang dikeluarkan MK terkait uji materi tersebut Selasa (04/05/21) kemarin.

Alhasil UU KPK hasil revisi masih tetap menjadi dasar operasional KPK.

Majelis Hakim MK, hanya mengabulkan sebagian materi yang diuji yakni  Pasal 12B, Pasal 37B ayat 1 huruf B, dan Pasal 47 ayat 2 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal ini lebih banyak mengatur kewenangan Dewan Pengawas KPK, antara lain:

Pasal 12B mengenai penyadapan, MK menyatakan KPK tidak lagi harus izin dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan.

Pasal 37B ayat 1 huruf B tentang tugas Dewan Pengawas. MK mencabut kewenangan Dewan Pengawas dalam memberi izin atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan atau penyitaan.

Pasal 47 ayat 2 tentang izin tertulis terhadap permintaan dari KPK. Pasal ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional.

Sengkarut bertambah mbulet kala KPK kemudian mengeluarkan penghentian kasus BLBI Syamsul Nursalim melalui mekanisme SP3, kewenangan baru yang dimiliki KPK, setelah UU KPK hasil revisi diberlakukan.

Hal ini seolah menegaskan bahwa UU KPK hasil revisi menjadi momok bagi KPK yang terlihat secara nyata dalam bebereapa masalah tersebut. 

Namun menyalahkan sepenuhnya sengkarut yang terjadi pada tubuh KPK kepada UU KPK hasil revisi, dibantah oleh salah satu anggota Komisi Hukum DPR-RI dari PPP yang juga merupakan salah satu penggagas revisi UU KPK, Asrul Sani.

Asrul menilai kalangan yang menyalahkan UU KPK hasil revisi atas semua kejadian yang kini menimpa KPK hanya berdasarkan prasangka semata. ia kemudian menuturkan bahwa semua hal buruk yang sekarang terjadi di KPK 'dinisbahkan'kepada revisi UU KPK.

Akan tetapi, jika diamati kondisi carut marut KPK seperti saat ini memang terjadi hanya diperiode setelah UU KPK di revisi, dan itu fakta yang tak terbantahkan.

Memang sejumlah kejadian tak sesuai etik sempat terjadi juga di masa-masa sebelum UU KPK di revisi, tetapi sifatnya hanya minor saja. Saat itu tak pernah terdengar ada laku lancung yang dilakukan oleh pegawai KPK yang berkaitan langsung dengan masalah penyelidikan korupsi yang sedang berjalan.

Apalagi kemudian kondisi ini dikaitkan dengan kepemimpinan Firly Bahuri di KPK periode ini yang oleh sejumlah pihak dianggap tak kredibel. 

Secara hukum putusan dari MK terkait UU KPK hasil revisi ini sudah final dan mengikat, yang bisa dilakukannya hanyalah mendorongra legislator untuk melakukan revisi UU KPK kembali, tapi yah itu sangat sulit sepertinya.

Karena DPR sepertinya tak ingin melihat KPK menjadi sebuah lembaga superbody yang terlalu kuat. Presiden Jokowi sendiri sepertinya tak bisa berbuat banyak terkait hal ini, meskipun sebenarnya ia memiliki kekuatan dalam kewenangannya untuk lebih memperkuat KPK.

Entah hendak dibawa ke mana KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun