Kita semua tentu saja berharap hal itu tak terjadi di Indonesia, tapi sekali lagi kondisi kerumunan masif di Tanah Abang akhir pekan kemarin sangat potensial menggiring Indonesia mengalami kenaikan pasien baru Covid-19.
Pemerintah baik pusat maupun daerah, sepertinya tak berdaya. menghadapi situasi ini, ambiguitas kebijakan dan implementasi keseimbangan urusan ekonomi dan kesehatan yang tak diterapkan secara disiplin membuat peristiwa kerumunan masif di Tanah Abang bisa terjadi.
Memang Pemprov DKI sudah menyiapkan petugas hingga ribuan di sana untuk mengingatkan standar protokol kesehatan kepada para pengunjung maupun pedagang, tapi bisa apa mereka dengan jumlah pengunjung sebanyak itu.
Masyarakat sendiri, entah karena sudah capai dengan segala urusan covad covid seolah mengabaikan aturan protokol kesehatan yang ada.
Mungkin saja mereka menggunakan masker, Â namun dalam situasi padat seperti itu sirkulasi udara menjadi berkurang, oksigen segar menipis bernapas menjadi agak sulit apalagi menggunakan masker, akibatnya masker sudah hampir pasti d ibuka tutup, disaat dibuka itulah potensi penyebaran virus membesar.
Apalagi para pengunjung berada dalam situasi padat itu lumayan lama, droplet bisa mendarat dimana saja.
Lebih jauh lagi, ternyata kenaikan pengunjung di Tanah Abang memberi efek tambahan berupa kenaikan penumpang kereta api listrik Jabodetabek hingga 45 ribu orang di akhir pekan kemarin.
Kekhawatiran kluster penularan Covid-19 tambah menjadi, Pemerintah DKI atau Pusat sebenarnya bisa saja menutup total Pasar Tanah Abang.
Namun, efeknya pasti akan buruk bagi ekonomi. Tapi jika itu harus dilakukan pemerintah harus berani melakukannya.
Pengaturan jam waktu tutup kios pedagang seperti diterapkan mulai  hari Senin (03/05/21) tak akan efektif.
Semoga saja kehawatiran muncilnya  kluster Tanah Abang tak menjadi kenyataan, dan masyarakta Indonesia, khususnya masyarakat Jakarta aman dari tsunami kasus baru Covid-19.