Pemerintah secara resmi telah melarang mudik Hari Raya Idul Fitri  tahun 2021 ini. Aturan terkait hal itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 dari Satgas Penanganan Covid-19 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19 Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah, seperti yang dilansir oleh berbagai media.
Surat Edaran ini kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya adendum oleh pemerintah yang mengatur Pengetatan persyaratan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri 2 pekan sebelum Hari Lebaran dan Sepekan setelahnya, berarti mulai tanggal 22 April hingga 5 Mei 2021 dan 18 Mei hingga 24 Mei 2021.
Dalam aturan itu jelas diterangkan mengenai pengecualian siapa saja yang boleh melakukan perjalanan pada masa larangan mudik dan syart-syarat administrasinya.
Antara lain, kendaraan yang mengakut kebutuhan logistik, kemudian kelompok masyarakatyang melakukan perjalanan non-mudik, seperti mereka yang dalam perjalanan dinas dalam rangka pekerjaannya, kunjungan keluarga sakit, kunjungan duka keluarga yang meninggal, ibu hamil yang didampingi 1 orang, dan kepentingan persalinan dengan pendamping maksimal 2 orang.
Semua kelompok masyarakat tersebut, harus membuktikan alasannya itu dengan membawa surat perjalan dinas  atau Surat Izin Keluar/Masuk (SIKM) dari atasannya, bagi pegawai negeri harus ada izin dari pejabat setingkat eselon II dengan tandatangan basah, artinya harus ditanda tangani secara langsung oleh pejabat bersangkutan.
Sedangkan bagi kelompok masyarakat yang berkunjung untuk kebutuhan sosial dan kesehatan, Print out surat izin tertulis dari Kepala Desa/Lurahh yang dilengkapi tandatangan basah/elektronik pejabat serta identitas diri calon pelaku perjalanan.
Peraturan ini bisa tegak dan diikuti oleh masyarakat apabila dilakukan dengan adil, tanpa akal-akalan pengecualian untuk siapaun dengan alasan apapun di luar yang disebutkan di atas termasuk untuk pejabat negara di setiap tingkatan mulai dari daerah hingga pusat.
Ndilalahnya, entah kurang memahami atau mencoba menarik perhatian, Wakil Presiden Ma'aruf Amin melalui Juru Bicaranya, Masduki Badlawi meminta agar santri-santri yang kini tengah mondok tak dikenai larangan mudik.
"Wakil Presiden minta agar ada dispensasi untuk santri bisa pulang ke rumah masing-masing tidak dikenai aturan-aturan ketat terkait larangan mudik yang berhubungan dengan konteks pandemi saat ini," ujar juru bicara Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Masduki Baidlowi, seperti dilansir Detik.com, Jumat (23/04/21).
Alasannya, lantaran Lebaran merupakan saat bagi para santri untuk pulang ke rumah setelah mereka mondok untuk belajar di pesantren. Karena banyak dari santri tersebut berasal dari lintas daerah, maka dispensasi larangan mudik dibutuhkan.
Semua orang juga tahu, bahwa Hari Raya Idul Fitri tersebut waktunya libur, tak hanya santri yang seharusnya pulang ke rumah untuk merayakan Lebaran, seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia pun berharap demikian.
Terus atas dasar apa santri boleh meminta dispensasi sedangkan yang lain tidak?
Larangan mudik itu diberlakukan agar penyebaran virus SARS Cov-2 tidak terjadi secara masif, apakah karena santri mereka tak akan menyebarkan virus laknat itu?
Ketika masalah ini ramai menjadi polemik, Badlawi menyebut bahwa ide dispensasi mudik santri itu bukan berasal dari Wapres Ma'aruf Amin, tetapi dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang memang dikenal sebagai organisasi yang menaungi banyak sekali pesantren-pesantren di Indonesia.
Namun ternyata kilah Badlawi itu tak sepenuhnya benar, secara institusi PBNU tak pernah melontarkan ide tersebut, meskipun mereka mengakui ada beberapa orang di kalangan pengurusnya yang sempat membicarakan dispensasi bagi santri atas kebijakan pelarangan mudik tersebut.
Ada dua hal yang membuat saya terhenyak dengan lontaran permintaan dari Wapres Ma'aruf Amin ini, pertama masalah komunikasi, mengapa hal ini tak dibicarakan terlebih dahulu dengan Presiden Jokowi dan Kabinetnya, padahal mereka kerap bertemu untuk rapat kabinet.
Ini tiba-tiba langsung dibicarakan dihadapan pers yang kemudian menjadi konsumsi publik sehingga menimbulkan polemik. Kesan inkonsistensi kebijakan antar pejabat seperti ini yang membuat sebuah kebijakan tak bisa berjalan dengan baik.
Satu pejabat ngomong A, pejabat lainnya bicara B, semua seperti sedang berlomba mencuri panggung.
Kedua, saling sahut narasi berlawanan antar sesama pejabat bakal membuat masyarakat bingung, siapa yang harus diikuti, mana sih yang benar?
Pengecualian-pengecualian seperti ini selain akan membuat aturan itu tidak efektif juga bernuansa diskriminatif, terus bagaimana dengan para mahasiswa yang juga sedang menuntut ilmu jauh dari keluarganya, jika santri di beri dipensasi kenapa mereka tidak.
Para pekerja pun sama, mereka jauh dari keluarganya untuk mengais rejeki, boleh dong mereka juga pulang untuk berlebaran bersama keluarga, salahnya dimana mereka, kenapa Santri diberi dispensasi mereka tidak?
Dengan kondisi ini seluruh aturan pelarangan mudik demi mencegah penularan Covid-19 berpotensi hancur berantakan, masyarakat akan cenderung melakukan pembangkangan jika keadilan dalam sebuah aturan itu tak ada dan tampak.
Tanpa masalah ini saja, masyarakat Indonesia yang tetap mudik saat larangan diberlakukan , meski sosialisasi telah dikerjakan akan masih sangat banyak, seperti yang diungkapkan Presiden Jokowi dalam sebuah acara pengarahan kepada seluruh Kepala Daerah di Indonesia seperti yang diunggah channel Youtube milik Sekretariat Presiden.
"Begitu kita sosialisasikan, kita sampaikan gubernur, bupati, wali kota juga menyampaikan mengenai larangan mudik, turun menjadi 7 persen, tapi angkanya masih besar, 18,9 juta orang yang masih akan mudik," katanya.
Jadi saya sih sangat berharap tegakanlah aturan itu tanpa pengecualian-pengecualian atas dasar latar belakangnya, kecuali memenuhi kriteria dalam Surat Edaran yang telah dikeluarkan pemerintah.
Semoga saja polemik ini tidak berlanjut setelah Menteri Agama Yaqut Cholil Qaumas menegaskan bahwa tidak ada dispensasi mudik bagi santri, memang ini hal yang sangat berat untuk diterima oleh kalangan pesantren, tapi yah harus diterima demi keselamatan jiwa kita semua.Â
"Untuk itu kami meminta dengan sangat hormat kepada para pengasuh, santri maupun orang tua santri untuk bisa memahami aturan ini demi menjaga keselamatan jiwa kita bersama dari ancaman paparan virus Covid-19," kata Yaqut seperti dilansir Detik.com, Rabu (28/04/21).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H