Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Polemik Telegram Kapolri tentang Media, Potret Buram Pembuatan Kebijakan di Indonesia

7 April 2021   07:39 Diperbarui: 7 April 2021   16:57 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Telegram Kapolri nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 terkait dengan kegiatan kehumasan di lingkungan kewilayahan Korps Bhayangkara, yang dirilis Senin (05/04/21) sempat menuai kontroversi dan ramai menjadi bahan perbincangan.

Telegram yang sebenarnya ditujukan bagi kegiatan fungsi kehumasan di internal Polri ini, tiba-tiba saja menjadi polemik setelah media daring memberitakan bahwa kata"media" dalam telegram tersebut ditujukan bagi keseluruhan media nasional.

Adapun telegram Kapolri itu berisi 11 poin, dan poin yang kemudian disalahartikan itu ada di poin satu yang bunyinya, seperti yang saya kutip dari laman Kompas.TV.

"Media dilarang siarkan updaya/ tindakan kepolisian yang tampilkan arogansi dan kekerasan."

Saya kemarin sempat kaget juga ketika pertama membaca kepala berita di salah satu laman berita daring, yang judulnya kurang lebih "Media dilarang tampilkan tindakan arogansi aparat kepolisian".

Beuh bombastis sekali kan? Andai saja asumsi media daring itu benar, Polri bakal menjadi bulan-bulanan bullying warganet +62 paling sedikit selama seminggu lah.

Terus saja coba cari tahu, apa sih sebenarnya isi dari Telegram Kapolri tersebut. Untungnya ada sejumlah media daring yang memberitakan secara lengkap isi dari Telegram tersebut.

Dan ternyata menurut pemahaman saya itu ditujukan "hanya"untuk kegiatan internal Kehumasan di seluruh Kepolisian Republik Indonesia.

Lah terus kenapa harus ramai dan dipermasalahkan, setiap organisasi kan urusan kehumasannya bisa berbeda-beda, batasan ini itu ya biasa saja.

Saya sih menduga itu bisa-bisanya jurnalis yang menulis berita tersebut agar memperoleh viewer seabreg. 

Namun bisa juga karena dibaca sekilas jadinya pemahaman sang jurnalis tak lengkap, karena memang redaksi kalimat-kalimat dalam telegram tersebut puntak terlalu jelas, ditujukan kepada siapa, kalimat "media" itu,  sangat mungkin terjadi salah tafsir dalam pelaksanaannya.

Coba perhatikan dengan seksama  salah satu poin telegram tersebut;

"Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis"

Kata "media" ini lah yang menjadi masalah, andai telegram itu mengganti redaksi "media" menjadi "aparat peliput" atau "aparat Kepolisian yang meliput" ceritanya akan berbeda, tak akan ada salah pengertian dari pelaku media.

Alhasil karena kata yang digunakan bersayap, Dewan Pers secara spontan langsung meminta klarifikasi terkait telegram ini lewat Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Arif Zulkifli,

"Polri harus menjelaskan telegram tersebut apakah pelarangan tersebut berlaku untuk media umum atau media internal atau kehumasan di lingkungan kepolisian," ujar Arif, seperti dilansir Kompas.com, Selasa (06/04/21).

Pihak Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pun minta penjelasan serupa terkait Telegram Kapolri tersebut, bahkan mereka meminta Kapolri segera mencabut kembali Telegram tersebut lantaran sangat berpotensi  membatasi kebebasan pers, serta akuntabilitas dan transparansi kepada publik.

Memang itu telegram untuk internal namun dalam pemahaman Kompolnas bakal berefek juga pada peliputan media umum.

"Kami berharap Surat Telegram ini direvisi, khususnya poin-poin yang kontroversial membatasi kebebasan pers serta yang menutup akuntabilitas dan transparansi Polri kepada publik agar dicabut," ucap Poengki Indriati, salah satu Komisoner Kompolnas.

Dan untungnya pihak Polri cukup responsif menanggapi hal ini. Tak lama berselang setelah kegaduhan mulai merebak Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mencabut Telegram tersebut lewat surat bernomor ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 tertanggal 6 April 2021. 

Surat itu ditandatangani oleh Kadiv Humas Polri, Inspektur Jenderal Argo Yuwono.

Telegram yang berumur satu hari itu sepertinya menjadi gambaran pembuatan aturan di Indonesia, yang terkesan sembrono.

Bukan kali ini saja sebuah kebijakan pagi dibuat, pagi berikutnya dicabut,  berkali-kali.

Masa sih mereka yang menyusun draft sebuah kebijakan tak melibatkan juga ahli bahasa selain memperhatikan substansinya.

Hitung juga dampak bagi masyarakat ketika sebuah kebijakan itu dikeluarkan dalam bentuk aturan yang mengikat, sehingga memiliki implikasi hukum.

Jika sudah, coba deh sosialisasikan dengan baik kepada masyarakat, karena kurangnya sosialisasi dan komunikasi juga kerap menjadi masalah.

Hal ini juga diakui Presiden Jokowi bahwa aparatnya agak kurang baik dalam mengkomunikasikan sebuah kebijakan.

Aturan yang baik sekalipun, jika tak dikomunikasikan dengan baik hasilnya bisa jadi sangat negatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun