Meskipun sejumlah ilmuwan berusaha memecahkan misteri ilusi bulan, dan telah melahirkan beberapa teori tapi mereka masih merasa teori-teorinya tersebut belum ajeg, masih penuh celah untuk dipertanyakan.
Di abad keempat SM, menurut Filsuf Yunani yang sangat terkenal Aristoteles  ilusi bulan terjadi lantaran atmosfer bumi mungkin memperbesar citra bulan di ufuk.
Menurutnya hal itu bisa diibaratkan seperti halnya air yang dapat membuat sebuah objek yang tenggelam di dalam air terlihat lebih besar dimata kita.
Sebagai tambahan informasi untuk memberi pemahaman lebih jelas, ufuk adalah garis yang memisahkan antara langit dan bumi yang memperlihatkan garis pembatas yang tampak mendatar lurus atau atau lengkung, pada pemandangan antara bagian permukaan bumi dan bagian langit.
Dalam bahasa lain ufuk disebut juga sebagai horizon, cakrawala, atau kaki langit.
Hampir senada dengan Aristoteles, ilmuwan lain asal Yunani-Mesir Ptolemeus menjelaskan fenomena ini dalam risalahnya yang terkenal Almagest yang terbit pada abad ke-2 Masehi.
Begitu pula dengan teori ilmuwan lain, seorang astronom asal Yunani Cleomedes yang menjelaskan teori serupa dengan Ptolemeus dalam kurun waktu tak terlalu jauh, keduanya menerangkan bahwa ilusi bulan itu karena atmosfer bumi memberi efek ilusi optik yang membuat citra bulan terlihat berbeda ukuran.
Namun seiring waktu sejumlah penelitian menunjukan bahwa atmosfer bumi tidak memberikan efek semacam itu.
Atmosfer bumi mungkin bisa mengubah warna bulan, tergantung pada bagaimana partikel membelokkan dan memfilter cahaya bulan, tapi hanya itu yang bisa dilakukannya
Teori yang berbeda dan dianggap lebih masuk akal terkait ilusi bulan ini diungkapkan oleh imuwan Islam asal Arab Ibn Al Haytham pada abad ke-11 Masehi.
Ia menunjukkan bahwa perbedaan ukuran berkaitan dengan bagaimana otak kita merasakan jarak dan kemudian bagaimana kita secara otomatis menyesuaikan ukuran benda yang terlihat agar sesuai