Dinamika cinta antar keduanya lah yang harus dihadapi Harry dan Sally tanpa perlu melibatkan apapun atau siapapun bahkan waktu pun dibiarkan saja bergulir seolah waktu bukan hal yang penting. Hal itu terpampang dengan jelas di sepanjang film itu.
Dalam kebanyakan komedi romantis, para calon kekasih dipisahkan dengan tinggal di kota yang berbeda (Sleepless in Seattle) atau negara yang berbeda (Four Weddings and a Funeral).
Mereka harus berurusan dengan kehamilan yang mengejutkan (Knocked Up), jurang budaya (My Big Fat Greek Wedding) atau artikel majalah yang sangat bodoh (How To Lose a Guy in Tenth Days).
Namun, dalam film When Harry Met Sally, dua tokoh utamanya ini masih lajang tinggal ditempat sama di Kota New York dan kehidupan mereka normal dan baik-baik saja.
Tak ada halangan apapun bagi mereka untuk menjadi pasangan kecuali ketakutan yang timbul dan menguar dari dalam hati dan pikiran mereka sendiri.
Kedua karakter ini seolah dibiarkan dan diberi ruang seluas mungkin oleh penulis skenario dan sutradara untuk menjadi dewasa, bertemu orang lain, dan melakukan berbagai kesalahan.Â
Hingga akhirnya setelah keduanya lelah berjuang, mereka bisa menemukan siapa mereka sebenarnya dan keinginan apa yang mereka harapkan. Yang berujung menemukan satu sama lain.
Di akhir film ini, saat Harry Connick Jr bersenandung kita semua tahu bahwa Harry dan Sally memang diciptakan untuk saling memiliki satu sama lain.
Ini memang benar-benar film keren, dialognya benar-benar pas dan jleb, akting para tokohnya sempurna, ilustrasi musiknya yang akrab di telinga, dan penggambaran Kota New York yang sangat menggiurkan.
Film ini meski sangat ringan untuk dikunyah dan sederhana untuk dipahami, sesederhana judulnya "Pria bertemu Wanita." Tetapi meninggalkan kesan yang sangat dalam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI