Kisruh dualisme kepengurusan di Partai Demokrat kini sudah mulai memasuki babak baru. Kubu PD versi KLB menyebutkan bahwa mereka telah memasukkan susunan pengurus partai versi KLB ke Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham).
Sementara PD kubu Cikeas, telah melakukan safari ke beberapa institusi pemerintah seperti Kemenkumham, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Kementerian Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) untuk menjelaskan dan meyakinkan kepada mereka terkait legalitas dan keabsahan PD versi Cikeas.
Bola panas dalam drama "kudeta", kini berada ditangan pemerintah, meskipun akhir kisah ini  saya kira akan berujung di meja hijau, apapun keputusan pemerintah dalam hal ini Kemenkumham.
Sebenarnya jika mengacu pada hukum an sich, seperti yang diungkapkan Menkopolhukam Mahfud MD, menyelesaikan kisruh PD ini tak terlalu sulit juga bagi Kemenkumham.
Menurut Mahfud, dasar penyelesaian sengkarut PD ada dua yakni Undang-Undang nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dan AD/ART Partai Demokrat yang kini terdaftar dan diakui Kemenkumham.
"Pertama berdasarkan Undang-Undang Partai Politik, yang kedua berdasar AD-ART yang diserahkan terakhir atau yang berlaku pada saat sekarang ini. Bagi pemerintah, AD-ART yang terakhir itu adalah AD ART yang diserahkan tahun 2020, bernomor MHH 9 Tahun 2020 bertanggal 18 Mei 2020," ucap Mahfud Md. Beberapa waktu lalu seperti dilansir Detik.com.
Jika mengacu pada kedua dokumen hukum ini, jelas dan terang bahwa PD versi KLB itu tidak sah karena penyelenggaraan KLB -nya pun tidak sesuai aturan yang akan digunakan sebagai dasar bagi Kemenkumham dalam melakukan assesment.
Namun hal ini sepertinya sudah dihitung oleh mereka yang menginisiasi KLB PD di Sibolangit. Makanya mereka menggunakan AD/ART PD tahun 2005 yang disebut mereka masih murni, seperti saat partai berlambang logo mercy ini pertama kali didirikan, belum terkontaminasi upaya-upaya klan Yudhoyono untuk memiliki partai tersebut.
Di sinilah nantinya yang akan menimbulkan perdebatan, meskipun jika mengacu pada aturan hukum yang ada, AD/ART terbaru dan sudah diakui Kemenkumham lah yang seharusnya menjadi dasar dalam memutuskan keabsahan PD versi KLB ini.
Jadi intinya apabila dasar pertimbangan Kemenkumham itu murni secara hukum, Partai Demokrat versi KLB dengan Ketua Umum Moeldoko, SK Kemenkumham  terkait legalitas mereka itu tak akan keluar.
Namun, repotnya apabila unsur politik masuk ke dalam pengambilan keputusan Kemenkumham ini. Moeldoko adalah orang dekat penguasa saat ini, dan ia berada satu barisan dengan Yasonna Laoly yang saat ini menjadi Menteri Hukum dan Ham.
Bisa jadi mereka main mata, meskipun dengan tegas Yasonna menyebutkan bahwa dirinya selaku Menkumham akan melakukan assesment terhadap kasus KLB PD itu secara profesional dan obyektif.
"Ini saya pesan kepada salah seorang pengurus Demokrat kemarin saya pesan, tolong Pak SBY dan AHY jangan tuding-tuding pemerintah begini, pemerintah begini. Tulis saja, kita objektif kok. Jangan main serang-serang yang tidak ada dasarnya," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (09/03/21).
Ya, sinyalemen yang menunjukan bahwa PD versi Cikeas melakukan framing bahwa pemerintah saat ini atau Presiden Jokowi itu memang benar adanya.
Dalam banyak kesempatan mereka berasumsi diamnya Jokowi dalam kasus ini seolah memberi lampu hijau bagi Moeldoko untuk bergerak melakukan "kudeta' di PD.
Kesan arogansi Klan Yudhoyono dalam kasus ini terlihat jelas, alih-alih bergerak secara senyap seperti saat Tommy Soeharto berebut Berkarya dengan Muchdi PR, yang ujungnya berhasil diambil kembali oleh Tommy.
Mereka seolah show off, terkesan sangat baper dalam menghadapi masalah politik ini, sepertimya dunia mau kiamat saja.
Padahal, sebenarnya diamnya Jokowi itu seperti itu disebutkan Mahfud, lantaran pemerintah tak bisa melakukan apapun baik mendukung atau mengintervensi aksi politik Moeldoko terhadap PD, lantaran pemerintah menganggap itu kisruh internal biasa.
Sebenarnya pengakuan pemerintah terkait obyektifitas mereka bisa dilihat dengan jelas saat Kemenkumham memutuskan dualisme di PD ini.
Jika Kemenkumham memutuskan murni berdasarkan hukum dan ditinjau berdasarkan aturan yang ada, KLB PD di Sibolangit yang memilih Moeldoko jadi Ketua Umum itu ilegal, dan tak pantas untuk disahkan.
Meskipun pastinya jika diputuskan demikian Kubu PD versi KLB akan melakukan gugatan ke Pengadilan, sangat mungkin hingga ke Mahkamah Agung.
Intinya apapun itu, kasus ini tak akan berakhir di Kemenkumham, karena apa pun hasilnya, kedua belah pihak pasti akan mengajukan gugatan hukum ke pengadilan.
Di Pengadilan lah dualisme kepengurusan Partai Demokrat ini akan berakhir. Jadi alangkah lebih baiknya jika kedua belah pihak menyiapkan bukti dan argumen yang kuat.
Bukan keliling sana-sini seperti dilakukan PD versi AHY seolah menunjukkan diri paling benar kepada publik, toh masyarakat luas tak akan bisa memberikan legalitas kepada mereka.
Kecuali memang siasat "playing victim" tengah dijalankan jika putusan hukum tak sesuai dengan ekspektasi mereka.
Mungkin itulah "best practise" mereka, memainkan drama playing victim eh jadi Presiden deh.
Anyway, semoga pemerintah bisa memutuskan kisruh PD yang menimbulkan kegaduhan secara nasional ini bisa diputuskan murni berdasarkan hukum dan aturan yang ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI