Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Snack Video Dibredel OJK, Diblokir Kominfo Menyusul Vtube dan TikTok Cash

3 Maret 2021   09:38 Diperbarui: 3 Maret 2021   14:41 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (SWI-OJK) per 1 Maret 2021 menghentikan kegiatan aplikasi Snack video yang beredar di dunia maya. Karena tidak terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik.

Sebelumnya aplikasi serupa seperti Vtube dan TikTok Cash juga dibredel OJK lantaran memiliki potensi merugikan masyarakat dan dianggap ilegal karena tak berizin.

"Kami sudah bahas dengan pengurus Snack Video dan terdapat kesepakatan untuk menghentikan kegiatannya sampai izin diperoleh. Kami juga telah meminta Kementerian Kominfo untuk menghentikan aplikasi TikTok Cash  yang berpotensi merugikan masyarakat," kata Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing. Senin (01/03/21) seperti dilansir situs resmi OJK.

Sebenarnya potensi kerugian masyarakat seperti apa sih sehingga  OJK merasa perlu melakukan penghentian kegiatan operasi ketiga aplikasi video tersebut?

Selain karena dianggap ilegal, aplikasi Snack Video itu disinyalir merupakan aplikasi berbasis money game.

Indikasinya aplikasi tersebut menawarkan imbalan uang dalam jumlah tertentu kepada para penggunanya dengan hanya menonton video yang diunggah aplikasi tersebut dan sistem referral atau mengajak teman agar ikut menonton video unggahannya tersebut.

Ya, jika kita ikuti berbagai unggahan akun resminya lewat media sosial, Snack Video memang menawarkan untuk membayar para penggunanya, hanya dengan menonton, melakukan login, like, follow hingga mengundang orang lain untuk bergabung.

Jika hal itu dilakukan, pengguna Snack Video akan mendapatkan sejumlah koin yang bisa dikonversikan ke mata uang rupiah dengan perhitungan 50 koin ekuivalen Rp.1 yang akan dibayarkan lewat Gopay atau OVO.

Karena gencarnya promosinya, dalam waktu tak terlalu lama aplikasi buatan China ini telah diunduh lebih dari 100 juta kali.

Snack Video ini dikembangkan oleh Beijing Kuaishio Technology Ltd sejak tahun 2011, dengan dukungan perusahaan teknologi Tencent.

Di Indonesia aplikasi ini dirilis oleh Joyo Technology PTE.Ltd yang berbasis di Singapura

Tampilan Snack Video ini hampir serupa dengan Tik-Tok, yang digunakan untuk mengunggah video-video durasi pendek.

Terkait penghentian kegiatan oleh OJK pihak manajemen Snack Video membantah bahwa aplikasinya tersebut terindikasi penipuan dan berpotensi merugikan masyarakat. 

Meskipun demikian, OJK tentunya memiliki alasan kuat mengapa mereka membredel kegiatan aplikasi video ini.

Jika memang mereka mengklaim aplikasinya aman kenapa tidak mereka memproses perizinannya terlebih dahulu sebelum aplikasi itu menjadi konsumsi masyarakat.

Apalagi kemudian cara promosinya dengan mengiming-imingi penggunanya dengan imbalan uang, meskipun memang ini bisa saja menjadi cara berpromosi seperti yang biasa dilakukan perusahaan start-up untuk menggaet banyak pengguna melalui program "bakar uang" yang akhirnya bisa membuat nilai perusahaan naik, dan diujungnya bisa di monetasi melalui masuknya investor ke induk perusahaannya.

Sebelum pembredelan aplikasi Snack Video, OJK pun melakukan penghentian kegiatan Tik-Tok Cash yang menggoda para warganet untuk mendapatkan uang dengan cepat dan mudah.

Hanya dengan menonton video yang diunggah di aplikasi TikTok sambil rebahan, anggota TikTok Cash akan mendapatkan keuntungan berupa sejumlah uang.

Namun untuk mendapatkan keuntungan tersebut harus terlebih dahulu menjadi anggotanya, mereka menuntut penggunanya untuk membayar biaya keanggotaan mulai dari Rp.49 ribu hingga Rp.49 juta.

Besaran biaya ini nantinya akan berkorelasi dengan keuntungan yang akan didapatkan oleh penggunanya. Yang oleh mereka diklaim bisa mendapatkan keuntungan hingga jutaan rupiah per hari.

Tentu saja, karena ini menjadi bahan perbincangan publik dan ada upaya pengumpulan uang masyarakat OJK berkewajiban untuk melakukan penyelidikan terkait hal ini.

Usut punya usut, ditemukanlah indikasi penipuan dengan skema ponzi dalam kasus TikTok Cash ini dan secara institusi TikTok Cash sama sekali tak berhubungan dengan aplikasi TikTok yang kita kenal selama ini.

Skema Ponzi ini memang lazim terjadi pada investasi bodong, hal ini merupakan skema investasi yang menjaring investor dengan memberikan keuntungan awal yang sebenarnya datang dari setoran investasi para investor sebelumnya.

Dan ketika pelaku skema ponzi menyadari sudah tak mungkin mendapat lagi mangsa dan keuntungan mereka akan kabur meninggalkan para investor yang sudah pasti merugi karena kehilangan uangnya.

Modus penipuan ini memang sangat beragam dan akan terus bermetamorfosis  mengikuti jaman dan teknologi meskipun hingga saat ini basis penipuannya ya hanya dua itu, money game dan Ponzi Schemes.

Mengapa hal itu bisa terus terjadi, karena literasi keuangan masyarakat masih rendah. Literasi keuangan adalah kemampuan seseorang dalam membuat keputusan keuangan yang bijak untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya.

Artinya dengan literasi  keuangan yang rendah mereka tak memiliki kemampuan untuk memilih produk keuangan yang sesuai kebutuhan dan mengelola aset keuangan dengan baik. Termasuk di dalamnya manajemen kas, utang dan investasi.

Dalam konteks skema investasi seperti TikTok Cash, menurut beberapa sumber bacaan yang saya dapatkan, ada 3 faktor yang mendorong masyarakat terjeremus ke dalam investasi serupa ini.

Pertama, ada bias keterwakilan yang membuat orang yakin bahwa hal yang mewakili entitas tertentu, seharusnya akan sebaik entitas yang duwakilinya tersebut.

Kendati TikTok Cash bukanlah sebuah produk yang dirilis TikTok bahkan sama sekali tak berhubungan dengan TikTok, tetapi penggunaan nama "TikTok" dalam skema ini membuat sebagian orang percaya bahwa ini merupakan skema buatan TikTok yang berarti seharusnya terpercaya dan aman karena dibuat oleh perusahaan bonafide.

Kedua, kepercayaan diri berlebihan atau over confident yang kerap mendorong orang menjadi ke-PD-an dengan kemampuan atau keberuntungannya.

Skema money game, skema Ponzi, maupun multilevel marketing/network marketing mengharuskan investornya untuk merekrut orang lain untuk bergabung yang biasanya melibatkan teman atau keluarga. 

Relasi ini yang kemudian cenderung membuat orang menilai bahwa "permainan" ini aman karena berhubungan dengan orang-orang dekat.

Ketiga, orang akan tetap memilih berada dalam "permainan" ini karena adanya efek biaya hangus atau sunk cost fallacy dan teori prospek.

Efek ini menjaga seseorang untuk tetap berada dalam skema investasi tersebut dengan dasar pemikiran satu hari di depan investor akan mendapatkan keuntungan seperti yang dijanjikan di awal investasi dilakukan.

Jadi membuat para investor seperti memiliki keharusan untuk tetap berada dalam skema investasi ini sampai minimal uang yang telah disetorkan itu kembali, sesuatu yang jarang terjadi.

Lantas, agar tak terjebak dalam situasi skema investasi seperti ini? 

Sekali lagi cobalah berpikir secara rasional sebelum berinvestasi dalam skema apapun, karena harus disadari setiap investasi itu keuntungannya akan sama besar dengan risikonya.

Jadi tak akan ada investasi beruntung maksimal dengan risiko minimal. Hindari investasi "too good to be true".

Untuk memberi pemahaman seperti ini pemerintah atau otoritas  keuangan harus terus menggalakan literasi keuangan masyarakat lebih intensif lagi.

Apalagi dalam situasi ekonomi sulit seperti kala pandemi ini. Masyarakat cenderung putus asa sehingga terkadang menjadi kehilangan akal sehat, tanpa perhitungan mereka berinvestasi serampangan asal diiming-imingi keuntungan fantastis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun