Kemang kawasan di Selatan Jakarta yang disebut sebagai daerah elite ibukota memang merupakan salah satu wilayah yang kerap disambangi banjir tahunan, namun dalam 3 tahun terakhir kondisinya terus eskalatif, bertambah parah.
Pada Sabtu (20/02/21) Â ketika banjir kembali merendam Jakarta, kawasan Kemang menjadi salah daerah terparah yang terkena banjir.
Jika kita saksikan di layar televisi, bangunan yang berada di jalan Kemang Raya yang panjangnya sekitar 500 m seluruhnya terendam banjir dengan ketinggian bervariasi yang paling tinggi hingga 2 meter.
Dan menurut salah satu karyawan apartemen di jalan tersebut, banjir kali ini merupakan terparah selama dirinya bekerja di tempat tersebut selama 10 tahun.
"Biasanya hanya di jalan, paling masuk sedikit ke luar lobi. Sekarang sampai masuk ke dalam lobi dan basement," kata Jamal, Sabtu (20/02/21). Seperti dilansir Kompas.Com.
Tak hanya Kemang ada lebih dari 30 titik banjir lain di seluruh DKI Jakarta yang terendam banjir dengan lebih dari 200 RW yang wilayahnya tergenang dengan ketinggian bervariasi hingga paling tinggi 4 meter.Â
Selain itu menurut dinas Perhubungan DKI Jakarta 6 ruas jalan tol ikut pula terendam banjir di sejumlah kawasan dengan ketinggian antara 30cm hingga 80 cm.
Kondisi banjir di Jakarta yang  sudah seperti menjadi agenda tahunan setiap musim penghujan tiba ini menurut sejumlah sumber yang saya baca karena ada 5 faktor.
Pertama, lantaran curah hujan yang ekstrem sementara kapasitas drainase tak mampu menampung curahan air yang turun tersebut.
Hal ini diungkapkan oleh Gubernur DKI Anies Baswedan. Ia menyebutkan berdasarkan data dari Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) curah hujan pada Sabtu (20/02/21) mencapai di atas 15o mm.
"Di Pasar Minggu berdasarkan catatan BMKG itu curah hujan sampai 226 milimeter, di Sunter Hulu 197 milimeter, di Halim sampe 176 milimeter, di Lebak bulus 154 milimeter. Semua angka di atas 150 adalah kondisi ekstrem," ujar Anies, seperti dilansir Merdeka.Com.
Kedua, karena turunnya permukaan tanah di wilayah Jakarta yang disebabkan oleh eksploitasi  air tanah besar-besaran. Rata-rata penurun tanah di DKI Jakarta sekitar 3-18 cm pertahun.
Kondisi ini bertambah memburuk di Jakarta Utara yang berbatasan dengan laut. Tinggi permukaan tanah di wilayah ini 1,5 meter lebih rendah dari permukaan air laut sebagai dampak perubahan iklim. Akibatnya aliran air dari hulu (Bogor dan Depok) pun tidak dapat terbuang ke laut.
Ketiga, Saluran dan tangkapan air (waduk, sungai, kanal banjir, drainase dan ruang terbuka hijau) yang ada kapasitasnya kurang untuk menampung volume air yang besar akibat curah hujan yang ekstrem.
Aliran dan sempadan sungai menyempit karena sebagian sungai di Jabodetabek mengalami pendangkalan. Beberapa daerah resapan dan waduk juga kurang maksimal karena berubah fungsi.
Hal ini lah yang kemudian menjadi polemik lantaran Gubernur Anies terkesan enggan meneruskan kebijakan yang sudah dicanangkan dan dilakukan oleh pendahulunnya karena alasan politik.
Ia sepertinya berusaha mengganti istilah normalisasi sungai menjadi naturalisasi sungai yang tak jelas implementasinya.
Bahkan menurut anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Fraksi PAN, Zita Anjani seperti dilansir Detik.Com.
Dalam 3 tahun terakhir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak fokus dalam mengatasi masalah banjir. Ia menyebutkan Anis terbelenggu oleh janji politiknya saat kampanye.
Anies tak mau melakukan normalisasi sungai seperti yang dilakukan pendahulunya karena harus melakukan penggusuran warga di bantaran sungai, padahal jika normalisasi sungai ingin dilakukan adalah sebuah keniscayaan untuk merelokasi warga yang tinggal di bantaran kali tersebut.
Memang Pemprov DKI melakukan pengerukan sungai-sungai di Jakarta tapi tanpa melakukan normalisasi tetap tak akan memadai dibandingkan debit rata-rata air saat banjir tiba.
Kapasitas sungai di DKI saat ini menurut Zita hanya 950 m3 per detik, sedangkan air ketika saat banjir tiba rata-rata 2.100 hingga 2.650 m3 per detik.
Makanya normalisasi sungai atau apapun namanya sangat perlu dilakukan. Jangan karena egoisme politik kebijakan yang sudah bagus diobrak-abrik tak tentu arah.
Akan menjadi terlihat hasilnya apabila kebijakan barunya tersebut dilaksanakan, faktanya kan selama 3 tahun pemerintahan Anies hal itu tak dilaksanakannya.
Sumur resapan yang digadang-gadang sebagai drainase vertikal yang ia sebut dengan memasukan air ke dalam tanah pun masih jauh dari yang ditargetkan.
Padahal Anies Baswedan menargetkan ada sekitar 1,8 juta sumur resapan di seluruh wilayah Jakarta, faktanya hingga saat ini baru sekitar 1.772 titik sumur resapan yang ia buat.
Membuat kebijakan dalam mengatasi banjir itu jangan politis namun harus berdasarkan pendekatan keilmuan.
"Siapapun gubernurnya gak bisa dia ganti-ganti program penanganan banjir, karena harus long term. Mengatasi banjir itu harus saintifik, gak bisa politik," kata Zita. Seperti dilansir Detik.com, Senin (22/02/21).
Keempat, Selain kebijakannya yang sangat politis, banjir di Jakarta pun lantaran alasan klasik yaitu tertutupnya permukaan tanah oleh beton dan material lain yang menghalangi air meresap ke dalam tanah.
Hal ini bisa terjadi lantaran pertumbuhan penduduk dan pembangunan infrastuktur untuk kebutuhan ekonomi sehingga menyebabkan okupansi lahan jijau dan terbuka menjadi semakin sempit.
Terakhir, adalah masyarakat masih seenaknya membuang sampah ke sungai atau kali yang ada disekitar Jakarta.
Untuk mengatasinya Pemda DKI dan wilayah sekitarnya harus segera merealisasikan pengelolaan sampah yang terintegrasi dan modern. Selain tentu saja sosialisasi terkait hal tersebut kepada masyarakat harus lebih gencar dilakukan.
Dengan tren curah hujan yang sepertinya  akan terus meninggi ke depan alangkah lebih baiknya andai pemerintah pusat segera mengambil alih urusan normalisasi sungai ini, jika Anies terus berputar-putar seolah menolak melakukan hal tersebut.
Meskipun kabarnya pertengahan tahun 2021 ini pembebasan lahan untuk normalisasi bantaran sungai akan segera dilakukan seiring turunnya anggaran untuk kebutuhan tersebut.
Ayolah pak Gubernur Anies, kesampingkan dulu ego politis demi kemasalahatan masyarakat Jakarta. Jika Jakarta bebas banjir atau paling tidak intensitas terus berkurang, hal tersebut akan menjadi nilai tambah bagi langkah politik anda ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H