Unggahan foto yang merupakan repost dari akun @kabarjakarta1 oleh Dinas Lingkungan Hidup lewat akun Twitter resminya @dinaslhdki  Rabu (17/02/21) yang memperlihat foto Gunung Gede-Pangrango dengan proporsi besar dan sangat jelas yang di daku fotografernya diambil dari kawasan Kemayoran ramai menjadi bahan perbincangan publik.
Caption yang menyertai foto itu menjelaskan bahwa udara Jakarta bersih akibat PSBB.
"Pemandangan Gunung Gede-Pangrango di Kemayoran Jakarta Pusat Pagi ini, menandakan kualitas udara sedang bersih"
Unggahan foto Dinas KLH ini menjadi ramai setelah dikomentari oleh fotografer senior Harian Kompas Arbain Rambey yang puluhan tahun bergelut di dunia fotografi.
"Ini foto tempelan. Untuk dapat Pangrango segede gitu, butuh tele panjang lalu motret dari jauh. Melihat perbandingan mobil depan dan belakangnya, jelas tak memakai tele panjang" Cuit Arbain, seperti yang saya kutip dari akun Twitter miliknya @arbainrambey.
Cuitan ini kemudian menuai respon dari ribuan warganet yang kebanyakan mendukung pendapat Arbain.
Buat saya yang tak memahami dunia fotografi dengan berbagai istilahnya yang cukup rumit, secara logika saja agak mustahil mendapatkan gambar dengan komposisi seperti yang terlihat digambar itu tanpa foto tempelan seperti yang diungkapkan wartawan senior kompas tersebut.
Saya lahir dan besar di Sukabumi, yang jaraknya ke kaki Gunung Gede-Pangrango sekitar 7 km. Tak pernah saya bisa melihat gunung tersebut dengan komposisi sebesar dan sejelas seperti difoto itu kecuali saya berdiri di daerah Salabintana, daerah Situ Gunung tempat jembatan gantung terpanjang di Indonesia atau di Perkebunan Teh Goalpara yang benar-benar di kaki Gunung Gede-Pangrango.
Beberapa kali saya pernah mendaki Gunung yang memiliki ketinggian 2.985 m ini, hingga puncaknya di alun-alun Suryakencana dari sisi Salabintana.
Tak terbayangkan bahwa gunung tersebut bisa dilihat begitu jelas dari Jakarta, seolah jaraknya sepelemparan batu saja.
Jika mengacu pada ucapan sang fotografer yang memberikan klarifikasi lewat akun Instagramnya @Wibisono.Ari terkait hasil jepretannya tersebut.
Ari mengatakan bahwa ia menggunakan lensa 400mm dengan berbagai istilah teknik lainnya, apapun alasan itu, secara logika dan akal sehat rasanya mustahil bisa mendapatkan gambar asli hasil jepretan kamera dengan komposisi gambar seperti itu.
Saya tak paham mengapa akun resmi pemerintah bisa terjebak untuk mengunggah sebuah gambar yang belum jelas kebenarannya.
Alih-alih diapresiasi malah menjadi bahan bullying dan menjadi sumber kegaduhan, apalagi kemudian ditanggapi warganet dari berbagai prespektif termasuk dari sisi politik yang dikaitkan dengan kinerja Gubernur DKI Anies Baswedan, riuh rendah di dunia makin menjadi.
Mungkin ke depan ada baiknya sebelum mengunggah sesuatu cek dan recek dulu kebenarannya, biasanya yang too good to be true itu menipu.
Walaupun kebenaran foto itu belum jelas benar, tapi mengacu pada cuitan penutup Arbain yang menjelaskan secara teknis alasan mengapa foto itu layak diragukan menurut prespektifnya
"Ini twit yang semoga penghabisan untuk polemik foto gunung:Perspektif gunung ke foreground gak nyambung dgn perspektif mobil2 yg tampak. Gunung ke foreground itu compactionnya gila2an (tele panjang buanged). Sedangkan perspektif mobil2 itu tampak pakai tele pendek"
Saya jadi semakin yakin bahwa foto tersebut hasil editan, tapi agar lebih jelas silahkan ambil gambarnya dengan teknologi fotografi yang serupa dengan pemilik foto dengan situasi dan kondisi yang sama pula.
Namun yang jelas akun yang pertama memposting foto ini @kabarjakarta1 telah di-suspended oleh admin platform media sosial Twitter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H