Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Hari Valentine Kali Ini Mari Kita Sikapi Tanpa Polemik

10 Februari 2021   06:54 Diperbarui: 10 Februari 2021   07:12 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hidup sungguh sangat bersahaja, yang hebat-hebat hanya tafsirannya"

Begitu petuah Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya "Rumah Kaca". 

Jika diselami dan dirasakan, tulisan yang dinarasikan dalam bentuk roman ini masih relevan dan beriringan dengan konteks zaman yang terus melaju bersama ragam peradabannya.

Jika mengacu pada kalimat pendek Pram tersebut, pada dasarnya 14 Februari yang beberapa hari lagi akan tiba adalah hari biasa saja, tidak ada keistimewaan di dalamnya.

Menjadi berbeda dan bagi sebagian orang terasa lebih menyenangkan karena penanggalan tersebut dimaknai sebagai hari kasih sayang.

Pemaknaan terhadap simbol dan angka dalam bulan atau tahun bisa muncul lantaran beragam faktor. Diantaranya adalah karena pengalaman atau sejarah yang kemudian dintepretasikan dalam sebuah perayaan.

Ada banyak spekulasi terkait sejarah bagaimana tanggal 14 Februari kemudian dimaknai sebagai hari kasih sayang.

Sebagian menyebut hal ini berawal dari tradisi kepercayaan paganisme di zaman Romawi Kuno Lupercallia atau festival kesuburan bagi perempuan yang dirayakan tiap tanggal 13 hingga 15 Februari.

Kemudian ada kisah lain yang cukup populer mengenai sejarah hari valentine yang melibatkan sosok seorang Santo yang bernama Valentine.

Ia meninggal secara tragis lantaran dieksekusi pada tanggal 14 Februari sesaat setelah menikahi seorang wanita muda.

Terlepas dari kontroversi sejarahnya, 14 Februari di zaman modern ini menjadi semacam budaya pop kaum urban yang oleh sejumlah pihak dituding sengaja diadakan demi kepentingan kapitalisme, untuk mendongkrak penjualan kartu ucapan semacam Hallmark, Coklat, dan barang-barang lain yang dianggap mewakili ungkapan cinta.

Tudingan ini sebenarnya tak terlalu salah, menurut National Retail Federation (NRF) and Prosper Insight & Analytics, asosiasi pengusaha ritel di Amerika Serikat untuk merayakan hari valentine 2021 masyarakat AS diperkirakan akan menghabiskan uang sebesar US$ 21,8 milyar atau setara Rp. 305,2 triliun meskipun di tengah pandemi.

Sementara di Indonesia, Hari Valentine hampir selalu membangunkan polemik, media sosial akan dipenuhi dengan ungkapan pro dan kontra dalam pemaknaan 14 Februari sebagai hari kasih sayang.

Pihak yang kontra sepertinya selalu mempersiapkan diri untuk mengecam hingga melakukan sweeping karena menganggap Hari Valentine sebagai tindakan yang menggambaran ekspresi agama tertentu.

Sampai pada titik tertentu kemudian dianggap melahirkan tindakan melawan norma sosial, norma agama, hingga norma budaya kita.

Sementara bagi mereka yang mengambil peran  dan menafsirkan bahwa 14 Februari layak untuk dirayakan sebagai hari kasih sayang bukan berarti mereka membenarkan, memberi pengakuan atau penghambaan pada duka cita kematian sang Santo.

Karena pemaknaan terhadap praktik perayaan valentine saat ini sudah jauh dari mitos tersebut. Seremoni valentine sejauh ini telah bertrasformasi dan berasimilasi hingga membentuk makna baru dalam nalar masyarakat.

Begitu banyak yang merasa perlu merayakan 14 Februari sebagai hari kasih sayang, tapi saya yakin apapun agamanya mereka tak mendedikasikan perayaan ini sebagai penghormatan terhadap kematian Santo Valentine.

Mereka hanya mencoba memungut makna cinta yang tertinggal dari Valentine, yang jika disikapi dengan lebih fresh minded bisa dimanfaatkan untuk mengkontruksi nilai-nilai cinta dengan cara pandang yang lebih elegan.

Agar kita mampu menyelami konsep cinta yang lebih dalam dan memaknainya lebih dari sekedar pemaknaan picisan ala muda-mudi yang dimabuk cinta.

Bagi saya pribadi yang pernah hidup di era dimana perayaan valentine tak pernah menjadi polemik. Cinta yang termanifestasikan dalam perayaan hari kasih sayang tersebut seharusnya bisa membebaskan.

Karena sejatinya pro dan kontra yang lahir dari pemaksaan opini dan kehendak, baik berupa larangan atau ajakan merayakan hari valentine sudah dapat dipastikan merongrong hakikat cinta dan kebebasan itu sendiri.

Melakukan atau tidak melakukan selebrasi perayaan hari kasih sayang adalah bagian dari tafsir. Oleh karena itu ia juga membebaskan orang-orang memilih untuk ikut atau menolak merayakan dan memaknai 14 Februari sebagai hari kasih sayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun