Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Digitalisasi Sertifikat Tanah yang Miskin Komunikasi dan Sosialisasi, Berpotensi Menimbulkan Kekisruhan

6 Februari 2021   05:33 Diperbarui: 6 Februari 2021   06:05 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polemik kembali diciptakan Pemerintahan Jokowi lantaran mereka menyampaikan sebuah kebijakan tanpa merasa perlu mengkomunikasikan terlebih dahulu pada masyarakat padahal kebijakan tersebut memiliki dampak yang sangat luas bagi kehidupan masyarakat.

Kebijakan tersebut adalah masalah sertifikasi kepemilikan tanah yang akan dirubah bentuknya dari fisik menjadi elektronik melalui ketentuan baru yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik. Beleid diteken dan berlaku mulai 12 Januari 2021.

Mungkin saja aturan baru tersebut akan memiliki manfaat untuk menekan atau meminimalisir praktik-praktik mafia tanah, kemudahan saat tanah tersebut ditransaksikan, dan menghindari kemungkinan hilang akibat kondisi kahar seperti kebakaran, banjir atau bencana lain yang memungkinkan sertifikat fisik hilang.

Pemerintah melalui Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional menyebutkan bahwa digitalisasi bukti kepemilikan tanah itu harus dimulai sesegera mungkin lantaran sistem data digital itu adalah sebuah keniscayaan.

Saya sepakat dengan ini, arahnya memang  sebagian besar hal-hal administratif akan terdigitalisasi kedepannya.

Namun, pemerintah lupa urusan kepemilikan tanah itu sangat sensitif  bagi masyarakat Indonesia dan tak seluruh masyarakat memahami urusan digitalisasi ini apalagi bagi mereka yang tinggal nun jauh dipelosok sana.

Jika tak tersosialisasikan dengan baik urusan yang tadinya didasari niat baik ini akan menjadi sumber kekacauan baru.

Bayangkan saja, menurut data dari Kementerian ATR dan BPN ada sekitar 126 juta bidang tanah di Indonesia, hingga akhir tahun 2019 tanah yang telah bersertifikat baru sekitar 62,4 juta bidang tanah artinya lebih dari setengahnya tanah di Indonesia belum melakukan sertifikasi.

Selain itu, pendaftaran tanah secara sistematis yang menyeluruh di wilayah Indonesia juga belum dilakukan, padahal hal ini sangat penting dilakukan sebagai database sistem pertanahan secara nasional yang nantinya bisa dipergunakan menjadi basis pelaksanaan reforma agraria.

Ditataran implementasi digitalisasi pun berpotensi menimbulkan masalah karena pada dasarnya yang berhak memvalidasi sertifikat itu hanya BPN, lantas dimana posisi masyarakat, padahal kita tahu juga tanah-tanah bersertifikat pun masih banyak yang bermasalah.

Tak sedikit sertifikat itu ada lebih dari satu untuk bidang tanah yang sama, kemudian ukurannya yang tidak sesuai, sedang bersengketa atau yang tengah berperkara di pengadilan.

Belum lagi mengenai sistem keamanan teknologi informasi yang digunakan oleh BPN dalam mengelola data tersebut.

Lantas bagaimana teknisnya jika tanah tersebut ditransaksikan, apakah setelah transaksi itu dilakukan pemilik lama dipastikan tak lagi memiliki akses terhadap data sertifikatnya.

Banyak hal yang membuat masyarakat menjadi kurang yakin bagaimana proses e sertifikat ini bakal berhasil. Jangan sampai menjadi sia-sia dan uang masyarakat yang digunakan untuk membangun sistem digitalisasi sertifikat ini terbuang begitu saja.

Alangkah lebih baiknya sebelum aturan itu dikeluarkan lakukan komunikasi dan sosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat, karena yang akan melakukan dan yang akan terkena dampaknya adalah masyarakat.

Ini kan peraturannya dulu dikeluarkan sosialisasi baru kemudian dilakukan, jangan membuat masyarakat bingung sehingga membuka peluang bagi para pecinta korupsi untuk menfaatkan ketidaktahuan masyarakat dalam prosesnya.

Jika kemudian masyarakat teriak ramai-ramai di media sosial dan menjadi viral, baru aturan itu di revisi atau ditunda. Cara membuat kebijakan apa seperti itu, ruled by social media atau memang kebijakan itu asal dibuat saja demi sebuah proyek?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun