Mereka yakin, hanya dengan kembali kepada pemahaman dan praksis keagamaan konservatif, mereka dapat menemukan makna beragama sejati.
Nah, kondisi pskologis umat Islam seperti inilah yang kemudian di monetasi oleh Rizieq Shihab dan FPI-nya melalui berbagai narasi-narasi yang menunjukan bahwa paham konservatisme ini benar adanya.
Sehingga mereka abai terhadap keberagaman, Indonesia dengan penduduk mayoritas  harus berlandaskan Tauhid yang menjamin bahwa mereka tak akan kehilangan keimanannya.
Ibarat sekrup dan mur, Â para pelaku yang terpapar konservatisme agama ini seperti menemukan wadah tempat mereka berinterkasi dan beramaliah, hingga kemudian bergabung atau paling tidak menjadi simpatisan FPI.
Faktor ketiga yang membuat doktrin FPI makin melekat pada pengikutnya adalah Islam Politik.
Menurut Dr Muhammad Iqbal  seorang filsuf Muslim dan penyair asal India, Islam politik adalah upaya sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol Islam untuk memperjuangkan kepentingannya dalam meraih kekuasaan.
Berbeda dengan politik Islam yang mengidealkan dan memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara, dengan poros keadilan dan keberagaman.
Kita tahu persis dan mungkin sebagian besar kita mengalami berkelindannya antara agama dan politik dalam proses politik  kekuasaan di indonesia dalam 7 tahun terakhirnya.
FPI dan para sekondannya seperti HTI, PKS dan sejumlah organisasi berbasis Islam lain. Mungkin hingga kini kita akrab dengan pengertian PKI dalam kata kerja bukan dalam kata benda.
Istilah ini kembali ramai memenuhi ruang publik saat Pilpres 2014 yang saya amati sebagai awal menjadinya Islam politik di Indonesia.
Jokowi-Kalla saat itu, oleh mereka termasuk FPI dan PKS di dalamnya digiring menjadi personifikasi PKI saya tak perlu menerangkan lagi PKI seperti apa yang mereka maksud.