Butuh upaya lebih dari pemerintah daripada hanya sekedar mematikan FPI secara organisasi. Ideologi yang sudah tertanam, masih terus akan berkeliaran meskipun FPI dimatikan dan dilarang dengan sangat keras seperti  yang tergambar dalam Maklumat Kapolri tersebut.
Fakta menunjukan itu, tak sampai 24 jam setelah pembubatan dan pelarangan segala aktivitas FPI. Anggota, pendukung, dan simpatisan mereka sudah membentuk organisasi baru meskipun tidak resmi. Ada nama-nama Front Perjuangan Islam atau Front Persatuan Islam yang diinisiasi oleh eks FPI.
Terdapat 4 faktor  yang membuat ideologi milik FPI ini bisa bertahan meskipun secara organisasi ormas yang didirikan tahun 1998 ini telah dibubarkan dan dinyatakan terlarang.
Pertama, FPI berhasil mencitrakan dirinya sebagai mandataris umat Islam, padahal jika mengacu pada situs miliknya yang kini telah ditutup FPI.or.id, pengikutnya konon katanya 7 juta orang (meskipun angka ini masih bisa diperdebatkan).
Jauh di bawah ormas Islam lainnya di Indonesia misalnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiah. Kenapa hal itu bisa terjadi, lantaran mereka lebih speak-up dan militan. Apalagi dengan dibantu oleh keberadaan teknologi internet dan media sosial.
Ssmentara simpatisan, pendukung, dan anggota 2 ormas Islam besar yang menguasai lebih dari dua pertiga penduduk muslim Indonesia lebih banyak diam.
Sehingga FPI dengan politik Toa-nya mampu menciptakan narasi-narasi sesuai keyakinan dan pemahamannya tentang Islam secara leluasa, nyaris tanpa narasi anti thesis yang memadai.
Kedua, pergeseran konservatisme beragama (Islam) yang menjadi fenomena global selepas tahun 2000-an. Konservatisme agama yang berarti pemahaman dan dan praktek agama konservatif menurut Profesor Azyumardi Azra guru besar UIN Syarif Hidayatullah dalam makalahnya "Konservatisme Agama di Indonesia: Fenomena Religio-Sosial, Kultur, dan Politik" Â ialah berpegang secara ketat pada kitab suci atau pada ajaran ortodoksi. Ortodoksi dan tradisi yang dianggap paling benar.
Konservatisme agama ini menolak penafsiran, pemahaman dan praktek agama bedasarkan perkembangan modern tertentu.
Konservatisme agama misalnya menolak  gejala moderen seperti keluarga berencana, sebaliknya menganjurkan banyak anak; atau menolak imunisasi anak; menganjurkan pemisahan laki-laki dan perempuan bahkan di antara suami-istri dalam resepsi perkawinan.
Dengan pandangan ini, para pendukung konservatisme agama meyakini dapat memenangkan diri dalam menghadapi perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang berlangsung cepat dan memiliki dampak luas  sehingga berpotensi membuat pemeluk agama kehilangan keimanannya.