Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Perlu Alasan Puber Kedua untuk Selingkuh

20 Desember 2020   11:21 Diperbarui: 20 Desember 2020   11:34 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi tadi salah seorang Kompasianer top sahabat saya Kang Budi Susilo,merilis tulisan terkait Puber Kedua yang dipilih admin Kompasiana sebagai Topik Pilihan kali ini, judulnya cukup povokatif "Jangan Jadikan Puber Kedua Sebagai Dalih Berselingkuh".

Sambil menikmati secangkir kopi dan beberapa buah pisang goreng saya menikmati tulisan itu. Oh oke, nice seperti tulisan-tulisan kang Budi yang lain.

Saya sepakat sih dengan tulisan itu, terutana yang menghubungkan perilaku korupsi dengan keinginan berselingkuh karena kedua hal tersebut sejatinya memiliki makna yang tak jauh berbeda.

Namun, saya tak berniat menulis resensi tulisan tersebut, tapi tulisan kang Bud itu memicu ide saya untuk menulis.

Pada dasarnya untuk berselingkuh itu tak harus menunggu puber kedua kok, bahkan yang tak pernah merasakan puber kedua pun kalau berniat selingkuh sih ya selingkuh saja.

Lah emang ada lelaki yang tak mengalami puber kedua, maaf saya tak sedang membicarakan lelaki di paragraf tadi, perempuan yang distigmakan tak pernah mengalami puber kedua pun tak sedikit juga yang berselingkuh, iya kan?

Jadi menurut saya berselingkuh itu sebenarnya hak segala bangsa tak terikat jenis kelamin, status sosial , apalagi cuma momen puber kedua.

Selingkuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebuah kata sifat yang memiliki arti se*ling*kuh a 1 suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; 2 suka menggelapkan uang; korup; 3 suka menyeleweng;

Artinya secara luas intinya selingkuh itu memiliki arti perilaku tidak jujur. Sementara dalam konteks hubungan asmara baik yang sudah resmi atau masih dalam tahap pacaran, sebenarnya tak jauh beda tapi lebih pada pelanggaran komitmen antar keduanya untuk saling setia dan jujur satu sama lain.

Secara hukum perselingkuhan baru bisa menjadi masalah hukum jika hubungan antara 2 orang tersebut sudah dalam ikatan pernikahan, dan baru bisa dituntut jika laku lancung itu sudah berkembang menjadi perzinahan.

Seperti yang termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) Pasal 284 ayat 1 tentang perilaku perzinahan.

Jadi selingkuh secara hukum positif  baru bisa dipidanakan pada pelakunya jika sudah terjadi persetubuhan antara pelaku selingkuh itu.

Namun, hidup ini kan bukan perkara hukum positif semata, ada ukuran lain yang sebenarnya lebih tinggi yakni etika dan moral.

Beragam kilah menjadi alasan berselingkuh, apakah puber kedua menjadi alasan utama perselingkuhan? Ternyata bukan.

Menurut penelitian dilakukan oleh sebuah jurnal ilmiah The Journal of Sex Research, 77 persen alasan orang berselingkuh lantaran rasa cinta pada pasangannya sudah berkurang.

Menyedihkan sekali karena berarti orang yang berselingkuh itu sudah tak mencintai pasangannya lagi, makanya dalam pandangan saya jika pasangan kita sudah selingkuh lebih baik berpisah saja, mengapa harus memaksakan jika pasangan kita tak mencintai kita lagi.

Dalam penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa lelaki berselingkuh lebih disebabkan alasan fisik. Sementara perempuan lebih pada masalah hati dan perasaan.

Dan yang mengejutkan ada survey lain yang mementahkan anggapan bahwa lelaki lebih gemar berselingkuh di banding perempuan.

Di Indonesia, menurut survey yang dilakukan situs justdating pada tahun 2019, 40 persen pasangan yang disurvey mengaku pernah berselingkuh.

Dari angka tersebut jumlah pelaku selingkuh perempuan lebih banyak 10 persen dibandingkan lelaki artinya menurut survey tersebut perempuan lebih banyak berselingkuh dibanding pria.

Jika kita berkaca pada survey tersebut, stigma lelaki lebih gemar selingkuh sudah terpatahkan. Mungkin saja ini linier dengan angka perceraian yang kian meningkat belakangan, karena dalam penelitian yang sama disebutkan bahwa sikap lelaki dalam menghadapi perselingkuhan perempuannya ,60 persen lelaki akan cenderung lebih memilih untuk meninggalkan pasangannya.yang selingkuh tersebut.

Sementara sikap perempuan dalam menghadapi perselingkuhan lelaki pasangan cenderung  lebih memaafkan dibanding lelaki.

Dari sejumlah litelatur yang saya baca, tak ada satu pun yang menyebutkan bahwa puber kedua lelaki menjadi sumber perselingkuhan.

Jadi.puber kedua itu sama sekali tak ada hubungannya dengan selingkuh. Selingkuh is one thing, puber kedua is another thing.

Walaupun mungkin ada juga lelaki yang mengaku selingkuh dengan alasan puber kedua, ya itu sih cuma kilah saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun