Kedua segmen ini hampir seluruh proses produksinya menggunakan mesin sehingga tak masuk pada segmen yang harus dikecualikan karena alasan ketenagakerjaan meskipun dari kedua segmen ini lah pemerintah meraup cukai terbanyak.
Dengan kenaikan di 2 segmen itu maka nantinya harga per-batang rokok usai kenaikan adalah. SPM I naik Rp145/batang menjadi Rp935/batang, kemudian SPM Golongan IIA naik Rp80/batang menjadi Rp565/batang, sedangakan SPM Golongan IIB naik Rp85/batang menjadi Rp555/batang
Sementara untuk segmen SKM I naik Rp125/batang menjadi Rp865/batang, SKM IIA naik Rp65/batang menjadi Rp535/batang, dan SKM IIB naik Rp70/batang menjadi Rp525/batang.
Cukai merupakan salah satu komponen utama dalam cost dari industri tembakau, makanya jika cukai dinaikan maka kenaikan akan langsung dirasakan ditingkat konsumen yang biasanya disebut Harga Eceran Tertinggi (HET).
Menurut Sri, Kondisi ini diharapkan dapat mengurangi prevelansi merokok secara umum di Indinesia bisa turun dari 33,8 persen pada tahun ini, menjadi 33,2 persen.
Kenapa tidak sekalian saja dinaikan setinggi-tingginya seperti yang diminta oleh para pemerhati kesehatan dan sosial, agar tingkat penurunan prevelansinya lebih banyak lagi.
Ya itu tadi jika dinaikan lebih tinggi lagi industri rokok bisa jadi kolaps dan dampak ekonominya akan menjadi berat apalagi di tengah pandemi Covid-19 seperti ini.
Selain itu aspek lain yang harus diperhatikan dalam menaikan cukai CHT adalah potensi persebaran dan penjualan rokok ilegal tanpa cukai.
Karena konsumen rokok bakal memilih mencari rokok dengan harga murah jika rokok yang ia biasanya konsumsi harganya naik, tanpa cukai jelas rokok ilegal akan menjadi jauh lebih murah dan bakal  diburu konsumen.
Ujungnya penerimaan negara dari CHT turun drastis tapi jumlah perokok aktif tak jua berkurang sehingga tingkat prevelansinya tetap tinggi.
Bagi para konsumen sendiri kenaikan itu tentu memberatkan tapi tak akan serta merta memutuskan untuk berhenti merokok.
Mereka biasanya akan mengalami shock selama 3 hingga 6 bulan, beralih menghisap rokok yang harganya lebih murah dibanding yang biasanya dia hisap tapi rasanya tak jauh berbeda.
Kemudian setelah mereka mampu beradaptasi terutama dalam masalah keuangan, mereka akan kembali merokok dengan merk yang sebelumnya dihisapnya.
Lantas percuma dong  menaikan harga rokok untuk menekan konsumsi ya, enggak juga. Karena menurut survey yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia WHO dan Bank Dunia menaikan cukai rokok yang berujung pada naiknya harga jual sehingga tak mudah terjangkau mampu menekan dan membuat perokok pemula tak berminat lagi untuk merokok.
Jadi kenaikan cukai rokok dengan besaran 12,5 persen itu merupakan upaya terbaik pemerintah untuk saat ini. Karena pemerintah harus juggling diantara dua kepentingan yang sama-sama harus diperhatikan.
Industri rokok ini seperti racun yang menghasilkan madu, sumbangan industri rokok terhadap pendapatan negara sangat signifikan, ditengah lesunya perekonomian akibat Covid-19 target cukai rokok 2020 malah naik jadi Rp.180,5 triliun naik 23 persendari penerimaan cukai rokok tahun 2019 yang sebesar Rp.165, 5 triliun.
Namun jangan salah pendapatan negara sebesar itu tak ada artinya dibandingkan dengan dana yang harus dikeluarkan masyarakat dan pemerintah akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok, menurut data yang dirilis Balitbangkes Kementerian Kesehatan tahun 2015 saja tak kurang dari Rp 374,16 triliun dikeluarkan akibat penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh rokok.