Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara resmi mengumumkan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar rata-rata 12,5 persen, kebijakan baru ini bakal berlaku efektif mulai 1 Februari 2021.
Kabar buruk bagi para petani tembakau, pengusaha rokok, dan para stakeholder industri tembakau lain mulai dari agen hingga pedagang eceran serta tentunya para ahli hisap yang selama ini mengkonsumsi produk-produk tembakau.
Namun keputusan penentuan kenaikan cukai CHT ini tentu saja sudah melalui kajian yang cukup matang oleh pemerintah. Terdapat 5 aspek penting dalam menentukan kenaikan CHT, yang titik beratnya pada keseimbangan antara aspek kesehatan dan ekonomi masyarakat.
Pertama, terkait pengendalian konsumsi rokok terutama dalam hal tingkat prevelansi merokok pada anak  dengan rentang usia 10-18 tahun dan wanita.
Dengan harga lebih mahal diharapkan rokok menjadi tidak terbeli terutama oleh anak dan remaja.
"Kenaikkan cukai hasil tembakau ini akan menyebabkan rokok menjadi lebih mahal atau affordability indeksnya naik dari 12,2 persen menjadi 13,7 sampai 14 persen, sehingga makin tidak dapat terbeli," ujar Sri Mulyani dalam Video Conference Kamis (10/12/20), seperti dilansir Medcom.id.
Kemudian aspek kedua masalah tenaga kerja, untuk itulah segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) cukainya tak dinaikan.
Lantaran segmen ini termasuk industri padat karya yang mempekerjakan 158.552 buruh.Â
Berbeda dengan segmen Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan IA yang mengalami kenaikan cukai paling tinggi sebesar 18,4 persen.
Menyusul kemudian SPM golongan IIB yang kenaikannya sebesar 18,1 persen, SPM golongan IIA naik sebesar 16,5 persen.
Kenaikan cukup signifikan juga terjadi pada segmen Sigaret Kretek Mesin(SKM) Â golongan I naik 16,9 persen, SKM golongan IIA naik 13,8 persen, dan SKM golongan IIB naik sebesar 15,4 persen.