Seruan sejumlah organisasi massa Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memboikot segala rupa produk-produk Perancis di Indonesia sepertinya tak akan efektif untuk memberikan tekanan kepada Presiden Perancis agar meminta maaf dan mengubah pandangannya terhadap Islam, ya seperti menggantang asap  saja alias sia-sia.
Lantaran secara ekonomi nilai ekspor Perancis ke Indonesia relatif kecil, menurut data tahun 2019 seperti yang saya kutip dari CNBCIndonesia.com, nilai ekspor produk-produk Perancis ke Indonesia mencapai US$ 1,8 miliar atau setara dengan Rp.26,1 triliun.
Sementara menurut data dari Biro Pusat Statistik (BPS) untuk tahun 2020 dalam kurun waktu Januari hingga Juli, nilai ekspor Perancis turun hingga 17 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019 lalu, menjadi US$ 682 juta.
Produk-produk yang di impor Indonesia dari Perancis adalah peluru dengan nilai US$ 71,9, kemudian bahan-bahan pulp and paper senilai US$ 45,9 juta.
Yang terbesar adalah impor  berbagai mesin dan suku cadangnya yang bernilai US$ 436 juta. Selain itu ada impor alat-alat kesehatan dan bahan baku industri farmasi sebesar US$ 33,9 juta. Terakhir adalah impor mentega senilai US$ 23,8 juta.
Jika diamati dari data-data ini, produk-produk yang berasal dari Perancis lebih banyak digunakan untuk kebutuhan produksi bukan di konsumsi secara langsung oleh konsumen, jadi yang mau diboikot itu barang yang mana?
Jika kemudian yang di sasar adalah produk-produk dari perusahaan yang berasal dari Perancis namun membuka pabriknya di Indonesia.
Seperti misalnya  perusahaan kosmetik L'Oreal dan perusahaan makanan dan minuman Danone, salah dua perusahaan berasal dari Perancis yang cukup besar.
Perusahaan kosmetik L'Oreal berdiri di Indonesia sejak tahun 1976, pabrik pertamanya di Indonesia dibangun tahun 1986 saat ini jumlah karyawan L'Oreal di Indonesia menurut situs L'Oreal Indonesia berjumlah sekitar 22.000 orang.
Asal tahu saja pabrik L'Oreal di Indonesia ini merupakan pabrik terbesar milik L'Oreal di dunia.Â
Kemudian ada Danone, perusahaan makanan, minuman dan susu anak berbasis di Perancis, menurut situs resminya dancommunity.co.id, mereka memiliki kurang lebih 15.000 orang karyawan di Indonesia.Â
Salah satu produk yang paling terkenal adalah Air Minum Dalam Kemasan bermerk Aqua dan Vit, kemudian ada Mizone. Lantas susu formula bagi bayi dan anak-anak dengan merek  SGM, Bebelac, Nutricia, atau Nutrilion Royal, serta beberapa merek biskuit seperti Biskuat.
Dan sudah hampir dapat dipastikan 90 persen lebih karyawan di dua perusahaan besar tersebut adalah warga Indonesia yang tentu saja mayoritas dari karyawannya pun muslim.
Seandainya boikot itu dilakukan, dan barang-barang produk mereka tak lagi di konsumsi akibat seruan boikot tadi, bisa saja mereka mengurangi jumlah karyawannya, dirumahkan atau di PHK misalnya yang rugi akhirnya siapa?Â
Di luar 2 perusahaan tersebut, memang banyak produk-produk Perancis terutama untuk fashion dan segala tetek bengeknya, tapi itu masuk luxury goods yang tanpa melakukan boikot pun kebanyakan orang Indonesia tak mampu membelinya.
Selain itu pemboikotan terhadap produk-produk Perancis ini juga tak memberi solusi apapun atas persoalan yang mendasar yang saat ini terjadi Perancis, yakni perbedaan pandangan tentang nilai-nilai keagamaan dan sekulerisme ekstrem.
Kalau memang tujuan dari aksi boikot ini adalah untuk memberi efek jera terhadap Presiden Emanuel Macron, apakah tidak ada cara lain yang lebih efektif atau tepat sasaran?
Jangan sampai malah menjadi bumerang atau efeknya berbalik mengarah ke saudara-saudara muslim kita yang akan sengsara akibat tindakan kita sendiri.Â
Daripada menyerukan pemboikotan terhadap barang-barang produk perancis yang belum terukur benar manfaatnya, mungkin lebih baik mendorong para pihak yang berkepentingan agar membuka dialog untuk menyamakan persepsi atas nilai-nilai beragama yang universal.Â
Karena kalau itu tidak dilakukan kejadian seperti ini akan terus berulang, lantaran titik temunya tak akan pernah ada.
Satu pihak keukeuh dengan pendiriannya yang mempertahankan supremasi kebebasan berpendapat, dipihak lain terdapat nilai-nilai dalam beragama yang sampai dalam titik tertentu memang harus sangat dihormati karena bagi penganutnya itu mandatory.
Jika posisinya terus seperti ini, bukan manfaat yang akan di dapatkan Perancis dan rakyatnya jika terus mempertahankan sekulerisme ekstrem seperti saat ini, dengan mengabaikan nilai-nilai agama yang universal
Justru hal ini bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal dan teroris, seperti yang terjadi saat ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H