Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kinerja Jokowi dalam Satu Tahun Terakhir Memang Tidak Memuaskan

22 Oktober 2020   08:22 Diperbarui: 22 Oktober 2020   09:22 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ditanya, saya termasuk orang yang akan menyatakan bahwa kinerja Presiden Jokowi dalam satu tahun pertama di periodenya yang kedua 2019-2024, tidak memuaskan.

Ketidakpuasan saya ini mungkin saja karena ekspektasi saya terhadap Presiden ke-7 Indonesia ini terlalu tinggi.

Namun, bisa juga ketidakpuasan itu lahir karena kinerja Pemerintahan Jokowi memang benar tidak memuaskan.

Seperti ditunjukan oleh hasil survey Litbang Kompas yang dirilis Selasa (20/10/20) lalu.

52,5 persen responden menyatakan tidak puas bahkan 6,2 persen diantaranya menyatakan sangat tidak puas terhadap kinerja Pemerintahan Jokowi dalam satu tahun terakhir.

Sementara yang menyatakan puas hanya 39, 7 persen, dan 2,3 persen responden yang lain menyatakan tidak tahu.

Survey ini dilakukan 14-16 Oktober 2020 dengan jumlah responden 529 yang tersebar di 34 Provinsi dengan rentang usia 17 hingga 80 tahun.

Dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan memiliki margin of error 4,3 persen.

Jika dibedah lebih dalam, survey ini menunjukan bahwa penyumbang terbesar ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja Pemerintahan Jokowi ialah di bidang penegakan hukum.

Sebesar 54,4 persen menyatakan tidak puas di sektor ini, bahkan 10,2 persen diantaranya menyatakan sangat tidak puas.

Bisa dipahami respon masyarakat seperti ini, banyak hal terkait penegakan hukum di Indonesia belakangan memang terlihat carut marut.

Bayangkan saja seorang Pinangki Sirna Malasari yang merupakan penegak hukum menjadikan hukum sebagai komoditas dagangan.

Itu yang high profile dan menjadi sorotan publik, yang tersembunyi di belakang meja dan belum terungkap mungkin lebih banyak lagi.

Bahkan jangan-jangan setiap kasus hukum di Indonesia sudah seperti komoditas yang layak diperdagangkan.

Lantas, dalam hal pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca revisi Undang-Undang KPK setahun lalu  dan pergantian Komisionernya terlihat bak macan ompong yang bahkan untuk mengaum saja tak mampu lagi sepertinya.

Alasan yang banyak terdengar, sekarang mereka lebih pada pencegahan korupsi katanya, melakukan pencegahan kan bukan berarti melupakan penindakan.

Sepanjang tahun 2020 hingga bulan Juni 2020 ini pasca Firli Bahuri dkk dilantik baru 2 kali Operasi Tangkap Tangan (OTT) dilakukan, bandingkan dengan tahun-tahun sebelum yang bisa puluhan kali melakukan OTT.

Kasus Harun Masiku yang merupakan salah satu kader partai penguasa, sepertinya berlalu begitu saja. Tak terdengar lagi usaha pencarian terhadap buron kasus penyuapan anggota Komisioner Komisi Pemilihan Umum(KPU), Wahyu Setiawan.

Sebegitu sulitkah KPK mencari jejak seorang Harun Masiku? Padahal mereka memiliki teknologi dan kemampuan mumpuni untuk menelusuri buronan seperti ini, atau jangan-jangan memang ada yang sengaja menyembunyikannya, Wallahualam.

Ya tak heran dengan kondisi seperti ini bidang penegakan hukum menjadi sektor yang paling tidak memuaskan masyarakat.

Sementara sektor yang paling memuaskan dalam survey Litbang Kompas ini ialah bidang kesejahteraan sosial.

Sebanyak 48,8 merasa puas atas kinerja Pemerintahan Jokowi di bidang ini, bahkan 3,4 persen di antaranya merasa sangat puas.

Masuk akal juga disektor ini, Jokowi dinilai memuaskan karena Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam berbagai skema dan lapisan penerima mengucur deras ke masyarakat sebagai jaring pengaman sosial di tengah gerusan pandemi Covid-19.

Tak kurang dari 7 skema BLT masuk dalam skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan nilai yang sangat besar Rp.209,17 triliun atau sepertiga dari jumlah keseluruhan anggaran Skema PEN untuk penanggulangan dampak pandemi Covid-19 di Indonesia.

Meskipun di lapangan persoalan data penerima BLT masih terlihat agak kacau, namun jajaran pemerintah terlihat sigap memperbaikinya dan hasilnya terus menunjukan perbaikan.

Lantas bagaimana dengan bidang ekonomi? Responden yang mengaku tidak puas dengan kinerja dalam sektor ekonomi sebesar 49,7 persen, sementara yang menyatakan puas sebanyak 42,6 persen.

Kondisi yang bisa dipahami sebenarnya karena pandemi ini membuat perekonomian Indonesia kocar-kacir, pertumbuhan ekonomi melambat sangat jauh dibanding tahun sebelumnya.

Kuartal II 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia terjun bebas ke angka minus 5,32 persen dan sepertinya di kuartal III pun masih akan tetap pada teritori negatif meskipun minusnya tak akan sedalam di Kuartal II.

Banyak pengamat ekonomi memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kuartal III akan ada dikisaran minus 1 hingga 2,5 persen.

Artinya secara teknis Indonesia akan masuk dalam jurang resesi. Biasanya pemgumumannya akan dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) di awal November.

Situasi resesi dan memburuknya perekonomian ini tak hanya dirasakan Indonesia, sebagian besar negara-negara di dunia pun dalam kondisi yang sama.

Mulai dari negara maju seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa hingga Jepang, Korea Selatan sampai Singapura pun mengalami pemburukan perekonomian akibat pandemi Covid-19.

Hanya China yang belakangan mulai menggeliat pertumbuhan ekonominya untuk kuartal III 2020 tercatat 4,6 persen, karena pandemi Covid-19 di negeri tirai bambu ini sudah berhasil mereka kendalikan.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh tim perekonomian pemerintah Indonesia sebenarnya sudah sangat bagus dan berjalan dalam trek yang benar, meskipun itu belum berhasil memuaskan maayarakat.

Di bidang Politik dan Keamanan, responden dalam survey ini pun lebih banyak yang menyatakan ketidakpuasaannya. 46,7 persen menyatakan demikian.

Sementara yang menyatakan puas sebanyak 44,1 persen menyatakan puas. Menurut saya  angka ketidakpuasaan yang cukup tinggi di sektor ini salah satunya lantaran Jokowi membiarkan anak mantunya maju dalam Pilkada serentak 2020 ini.

Dan hal ini juga membuat saya kecewa terhadap Jokowi, tadinya saya berpikir Jokowi akan sangat menjunjung etika dalam memimpin Indonesia, tapi politik pragmatis akhirnya mengalahkan idealisme itu.

Satu lagi, kenapa saya tak menuliskan pasangan Jokowi dalam memerintah negeri ini Wakil Presiden Maaruf Amin dalam tulisan ini.

Karena menurut saya hingga satu tahun Pemerintahan ini, saya tidak melihat kerja-kerja nyata dari Wapres. Jika ia menyebutkan bahwa dirinya pun kerap melakukan rapat koordinasi dengan para Mwnteri Koordinasi (Menko) dan mengikuti rapat kabinet, rasanya tak perlu jabatan setinggi Wapres untuk melakukannya.

Tadinya saya sangat berharap Wapres lah yang seharusnya memimpin seluruh rangkaian  penanganan Covid-19, sebelum dilaporkan dan berbagai kebijakannya itu diputuskan Presiden.

Seperti saat Jusuf Kalla menjadi Wapres, memimpin pemulihan bencana yang terjadi di Lombok dan Sulawesi Tengah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun