Dalam UU tersebut disebutkan secara khusus bahwa wanita tak boleh memiliki emas lebih dari 500 gram, mengenakan pakaian multi warna terutama yang memiliki garis ungu atau mengendarai kendaraan yang ditarik hewan di kota dalam radius lebih dari 1 km dari rumahnya kecuali untuk kebutuhan keagamaan.
Namun kemudian setelah Perang Punisia kedua berakhir dengan kemenangan ada di tangan Romawi, kekayaan dari daerah kekuasaan Kartago mengalir pada para penguasa Romawi.
Kesulitan keuangan yang selama itu terjadi menjadi sirna, sehingga memungkin lagi bagi para wanita Romawi bergaya hidup mewah.
Para wanita yang sebagian besar ibu rumah tangga kemudian turun ke jalan berbarengan dengan upaya penghapusan UU Oppian itu secara elitis melalui parlemen Romawi saat itu.
Wanita-wanita Romawi terus melakukan berbagai aksi, mulai dari penutupan jalan-jalan utama di ibu kota Romawi hingga berbicara diberbagai forum. Puncaknya dalam jumlah yang lebih besar dari aksi-aksi mereka sebelumnya, para demonstran wanita ini mengepung pintu kedua penguasa Romawi saat itu Brutus Tribun.
Akhirnya penguasa Romawi menyerah dan mencabut Lex Oppia pada 195 SM.
Sementara di zaman Romawi kuno yang lain , aksi unjuk rasa yang kemudian mengarah menjadi pemberontak yang juga  menjadi salah satu tonggak sejarah bangsa Romawi adalah saat Spartacus sang budak belian memimpin aksi itu pada 73-71 SM.
Awalnya hanya sekumpulan kecil budak yang protes atas perlakuan para majikannya dan aturan negara yang tak melindungi mereka, para budak berdemontrasi yang puncaknya mencapai 120 ribu orang  memenuhi jalan-jalan di Ibukota Romawi.
Meskipun kemudian aksi massa yang berujung pemberontakan yang dipimpin Spartacus ini berhasil dipadamkan oleh Marcius Licinus Crassus, aksi ini memberi pengaruh sehingga membuat banyak hal politik di Romawi berubah dalam beberapa tahun setelahnya.
Aksi massa ini dalam perjalanannya banyak merubah sejarah dunia. Setelah memasuki abad Masehi di zaman pertengahan Eropa terdapat aksi unjuk rasa besar yang melahir cabang agama Nasrani baru.
Aksi unjuk rasa besar itu dikenal dengan Reformasi Protestan. Aksi yang dimotori oleh Martin Luther pada 1517 itu awalnya merupakan aksi unjuk rasa damai yang menentang sejumlah kebijakan gereja Katolik dan perilaku sebagian Pasturnya.