Pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) telah berhasil menciptakan pro kontra yang cukup tajam di masyarakat Indomesia.
Kondisi yang mengingatkan kita pada situasi saat Pilpres 2019 lalu. Bedanya kali ini tanpa Prabowo Subianto, lantaran Prabowo dan Gerindra-nya sudah berada satu barisan dengan Pemerintah Jokowi
Jika kita amati konstelasinya terutama di media sosial terasa banget bagaimana pola pro dan kontra UU Ciptaker tersebut di tengah masyarakat.
Pihak yang Pro lebih banyak bertahan dan sibuk melakukan klarifikasi terkait berbagai hal yang dituduhkan dan dianggap berpotensi merugikan rakyat, oleh mereka yang kontra terhadap UU tersebut.
Pihak yang kontra terlihat sangat garang membabat siapapun orang yang mendukung UU ini, mereka langsung akan menerkam pihak manapun termasuk lembaga asing yang menyatakan dukunganya terhadap UU tersebut seolah sepanjang keberadaannya lembaga itu berdosa besar terhadap rakyat Indonesia.
Sebaliknya jika lembaga asing tersebut pernyataannya menolak atau mempertanyakan kemasalahatan UU Ciptaker mereka akan mengelu-ngelukannya dan mengutip pernyataannya tersebut seolah mau bilang,Â
"Nih lihat lembaga asing saja menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja"
Terakhir yang menjadi sasaran "kemarahan" pihak yang kontra adalah World Bank atau Bank Dunia. Karena dalam pernyataan resminya mereka banyak mengucapkan hal-hal yang positif tentang UU Ciptaker. Â
Bank Dunia dalam pernyataannya tersebut meyakini bahwa UU ini bakal membawa dampak postif terhadap perekonomian Indonesia ke depan.
Pernyataan Bank Dunia ini ramai diperbincangkan setelah Presiden Jokowi mengutip pernyataan tersebut dan mencuitkannya dalam akun Twitter resmi miliknya @Jokowi.
Demi melihat ini, pihak yang kontra langsung menyerang pernyataan Bank Dunia tersebut dengan berbagai macam narasi.
Ada yang menghubungkannya dengan keberadaan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang pernah menjadi petinggi di Bank Dunia sehingga wajar saja jika mereka menyatakan hal positif tentang UU tersebut.
Ada juga yang menyebut bahwa ruh dari UU Omnibus Law itu memang berasal dari keinginan Bank Dunia dalam upayanya untuk melakukan liberalisasi ekonomi dan finansial dunia yang selaras dengan neoliberasime.
Padahal sebelumnya ketika ada sejumlah investor global dunia yang mempertanyakan efektivitas UU Omnibus Law Ciptaker ini dalam konotasi negatif.
Pihak yang menolak ramai-ramai mengutip dan mengelu-ngelukan pernyataan tersebut padahal ya sama saja, mana ada sih investor yang tak berpikir keuntungan saat mereka berinvestasi.
Nafas dari investor itu ya ekonomi liberal juga, seperti yang mereka tuduhkan pada Bank Dunia. Hal ini menandakan sebenarnya bagi mereka yang menolak, tak penting juga liberal atau komunis bahkan Pancasila sepanjang menguntungkan dan sependapat dengan mereka.
Pola seperti yang dilakukan oleh pihak yang kontra seperti ini, juga dilakukan oleh pihak yang pro. Mereka juga menyerang pernyataan dari sejumlah pihak asing yang tak mendukung mereka.
Seperti pihak Norwegia yang mempertanyakan pasal-pasal yang berhubungan dengan pelestarian hutan dalam UUÂ Omnibus Law ini.
Pola seperti ini sebetulnya umum dalam upaya perebutan pengaruh agar tampak terlihat sebagai mayoritas dalam mendukung suatu hal, karena ada kesesatan cara berpikir atau logical fallacy yang menyebutkan bahwa mayoritas merupakan pemilik mutlak dari sebuah kebenaran.
Menurut sejumlah litelatur yang saya baca, sesat pikir seperti ini disebut Argumentatum ad Populum atau bandwagon fallacy, sesat pikir yang menyatakan bahwa kebenaran yang sejati itu milik mayoritas.
Mirisnya sesat pikir seperti ini terjadi dalam perdebatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti UU Omnibus Law Ciptaker ini dan dilakukan oleh banyak orang yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi.
Bentuk logis dari sesat pikir seperti ini adalah
 X Itu populer dan hal-hal yang populer itu benar maka X itu sudah pasti benar.
Makanya kemudian mereka yang saling bertentangan itu banyak mengutip pihak-pihak yang memiliki atau diyakini memiliki pengikut banyak untuk meyakinkan pandangannya terhadap pihak lain.
Logical fallacy lain dalam perdebatan pro dan kontra UU Ciptaker ini adalah Argumentatum ad Hominem. Sesat pikir seperti ini bisa terjadi karena kurangnya pengetahuan atas sesuatu yang diperdebatkannya.
Sekarang, mungkin hanya sedikit saja yang benar-benar sudah membaca UU Omnibus Law ini secara keseluruhan dan memahaminya.
Makanya ketika orang yang sudah membaca dan memahaminya tersebut membelokan apa isi sebenarnya dari UU tersebut, dengan mudah orang-orang yang tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang UU tersebut dengan mudah dapat dipengaruhi.
Hal itu terbukti dengan banyak hoaks yang beredar di masyarakat. Ketika hoaks itu berusaha ditangkal dengan membeberkan fakta-fakta dalam UU itu yang sebenarnya.
Mereka menggeser perdebatan itu pada ranah yang berbeda, tak lagi isi pasal demi pasal tapi urusan jumlah halaman yang diyakini dan disebarkan ke masyarakat sebagai upaya dari pemerintah untuk memanipulasi UU tersebut.
Dan terakhir sesat pikir dalam perdebatan yang tak berkesudahan tentang UU ini ialah Dilema Palsu atau Dilemma Dilemma.
Sesat pikir ini terjadi  ketika seseorang yang memiliki pengaruh menawarkan pilihan yang sangat terbatas, ketika pilihan lain masih ada.
Opsi yang sesuai dengan keinginannya akan dibuat begitu indah dan rasional, sementara opsi lain yang berlawanan dengan keinginanannya akan dibuat sebaliknya begitu buruk dan tak logis.
Dengan kata lain, sesat pikir jenis ini selalu menghadap-hadapkan antara hitam dan putih. Jadi pilihannya anda ikut saya berarti benar, tapi siapapun yang berbeda pendapat dengan saya sudah pasti salah.
Masih ingat omongan Presiden Amerika Serikat George W Bush saat ia memerangi teroris pasca kejadian 911.Â
"Jika kalian tak bersama Amerika, maka kalian bersama teroris."
Atau dalam konteks UU Ciptaker, seorang intelektual muslim yang saya sangat hormati dan untuk beberapa hal menjadi panutan saya Ulil Abshar Abdala mengeluarkan cuitan Dilema palsu lewat akun Twitter pribadinya @ulil seperti ini.Â
"Selamat pagi, wankawan... Para intelektual yg bergabung di dalam kekuasaan sedang jatuh-bangun mendelegitimasi demo para buruh dan mahasiswa. Para mantan demonstran yg ikut menumbangkan rezim Orba dulu jg ikut dlm "chorus" yg menyebalkan ini.Â
Sedih sekali. "
Jadi siapapun intelektual itu akan menjadi sangat menyebalkan  jika mereka mendukung UU Omnibus Law Ciptaker ini.Â
Namun, akan sangat menyenangkan bila mereka menolak UU tersebut. Logikanya Ulil memaksakan pendapatnya pada pihak lain yang berseberangan dengan pendapatnya dan ia mencap itu salah.
Padahal pro dan kontra UU Omnibus Law Ciptaker ini kan belum sama sekali dijalankan. Semua yang ditakutkan dan menjadi bahan perdebatan itu masih dalam kerangka asumsi.
Jika UU itu bunyi pasalnya B maka yang tejadi akan D, tapi kan belum terjadi apalagi kita belum tahu juga gimana aturan pelaksana  turunannya.
Meskipun memang benar UU itu dibuat untuk ditaati dan menjadi acuan kebijakan dalam lingkup pelaksanaan, tapi kan pelaksanaannya aja belum dilakukan.
Selain itu kok sepertinya menafikan niat baik pemerintah, seolah pemerintah itu akan berlaku busuk sebusuknya kepada rakyatnya.
Jika memang kemudian setelah beberapa saat UU itu berjalan kemudian memang sudah nyata dan terbukti menyengsarakan rakyatnya, silahkan protes minta pemerintah mengubah UU itu atau ajukan uji materi ke Mahkamah Konsitusi.
Karena UU kan memang bisa direvisi sebagian atau seluruhnya.Dengan bukti dan fakta yang nyata saya rasa dukungan akan lebih luas  dan pemerintah dan DPR akan lebih mendengar.
Ini kan berlaku saja belum sudah ramai, kalau orang Sunda bilang "Ulah sok nganjang ka poe isuk".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H