Sumgguh sangat menyedihkan melihat sejumlah fasilitas umum diberbagai kota di Indonesia yang dibangun dari uang pajak rakyat harus luluh lantak akibat aksi vandalisme para demonstran yang melakukan protes atas disahkannya Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Senin (05/10/20) lalu.
Kita boleh tak bersetuju, tak menyukai  atau benci pada sebuah keputusan apapun termasuk keputusan politik yang dikeluarkan pemerintah atau DPR.
Namun demikian, bukan berarti ketidaksetujuan, ketidaksukaan atau kebencian itu boleh dilampiaskan dengan cara anarki, melakukan kekerasan, pengrusakan terhadap berbagai fasilitas umum yang dibangun dari uang rakyat dan digunakan untuk kepentingan bersama.
Rakyat Indonesia itu bukan hanya mereka yang menolak UU Ciptaker, yang diam dan yang mendukung UU Ciptaker juga bagian lain dari rakyat Indonesia.
Tak ada kebenaran absolut dalam pro dan kontra UU ini  sehingga memberikan justifikasi pada salah satu pihak sebagai pemilik kebenaran satu-satunya, yang menolak memiliki alasan yang mereka anggap cukup kuat tapi ingat yang mendukung dan pemerintah pun memiliki dasar yang tak kalah kuat.
Jadi kenapa pengrusakan itu harus dilakukan? Ingat Indonesia dan seluruh masyarakat dunia ini tak sedang dalam kondisi yang bagus akibat pandemi Covid-19.
Ketidaksetujuan atau apapun itu kan bisa disampaikan dengan cara lebih beradab tanpa harus merusak. Penyampaian pendapat melalui demonstrasi itu sah dan dilindungi oleh undang-undang tapi tidak tindakan anarkis seperti yang kemarin dilakukan.
Asal tahu saja akibat aksi anarkis menghancurkan dan membakar 25 halte bus Transjakarta saja Rabu (07/10/20) kemarin, menurut perhitungan sementara Pemerintah Daerah DKI Jakarta menimbulkan kerugian berkisar Rp 65 miliar.
Artinya anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat lainnya harus tersedot untuk memperbaiki atau membangun ulang halte itu.
Yang membuat saya heran para demonstran dan para penolak UU Ciptaker ini seolah tak merasa bersalah dengan tindakan anarkis itu, mereka beranggapan bahwa aksi anarkis yang dilakukannya adalah sebuah hal yang given dalam sebuah demonstrasi.
Mereka lebih banyak mengungkapkan betapa frustasinya karena banyak keinginan mereka tak diikuti oleh Pemerintah dan DPR.
Oh come on, it's a real world pal, tak semua keinginan kita itu bisa terkabulkan. Pemerintah harus bersifat akomodatif pada seluruh rakyatnya, karena sekali lagi yang rakyat Indonesia itu bukan hanya buruh, atau mereka yang menolak UU tersebut.
Dan lucunya, meskipun pengrusakan dilakukan mereka yang harus disalahkan dari aksi mereka itu adalah pemerintah atau lebih spesifik lagi Jokowi selaku Presiden  dan DPR karena mengesahkan sebuah undang-undang yang mereka tidak setujui dan tolak dengan keras.
Ini seperti kita kesal terhadap seseorang karena ia tak memenuhi keinginan kita, dengan alasan tersebut kemudian kita merusak barang miliknya atau menyakitinya secara fisik, dan yang disalahkan adalah orang yang barangnya kita rusak.
"Coba kalau dia memenuhi keinginan kita pasti barangnya tak akan dirusak dan fisiknya akan disakiti."
Kan aneh!
Pemerintah harus bertindak tegas kepada mereka, tak boleh dibiarkan dengan alasan apapun. Jika tidak bakal menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H