Pomeo, penguasa yang memonopoli kebenaran sejarah dipraktekkan dengan sempurna oleh Soeharto sebagai penguasa Orde Baru.Â
Menurut Situs Sejarah Historia.Id, salah satu upaya memonopoli kebenaran sejarah oleh wangsa Orde Baru adalah melalui litelatur sejarah, karya tulis yang pertama terkait peristiwa G30S, dibuat oleh Sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh yang bertajuk "Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI" yang di rilis tahun 1968.
Berawal dari litelatur inilah penguasa Orde Baru mulai memonopoli kebenaran sejarah. Buku ini lah yang kemudian menjadi acuan pembuatan film "Pengkhianatan G30S/PKI" garapan Arifin C Noer yang belakangan menjadi isu hangat seperti yang diungkapkan oleh Gatot Nurmantyo.
Film yang diproduksi oleh Perusahaan Film Negara (PFN) ini bisa dilihat sebagai penyempurna propaganda penguasa Orde Baru dalam upaya memonopoli kebenaran sejarah tentang peristiwa G30S.
Film itu merupakan salah satu media propaganda yang paling efektif, militer dan penguasa Orde Baru saat itu sejak awal memang sudah memahami hal tersebut.
Makanya kemudian saat Soeharto di puncak kekuasaannya pada tahun 80an, mereka mulai merencanakan untuk memproduksi film ini.
Ketika film Pengkhianatan G30S/PKI itu dirilis  pada tahun 1984 seluruh siswa sekolah di Indonesia dari setiap tingkatan wajib menonton film tersebut, kemudian setelahnya, TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi di Indonesia wajib memutar film itu setiap tanggal 30 September setiap tahunnya, hingga Orde Baru tumbang pada 1998.
Artinya selama 15 tahun seluruh rakyat Indonesia saat itu dicekoki propaganda terkait peristiwa berdarah tersebut.
Saya sendiri mengalami masa itu dan mungkin hampir setiap tahun selama 7 tahun menonton film itu. Dan itu benar-benar membekas begitu rupa dalam benak dan pikiran saya sebagai anak yang beranjak dewasa saat itu.
Dalam pikiran saya saat itu hingga bertahun-tahun sesudahnya, tak ada kebenaran lain selain PKI-lah dalang perusuh dalam peristiwa sejarah paling kelam yang pernah dialami oleh bangsa ini.
Detik-detik saat penculikan 6 Jendral dan 1 orang perwira pertama Angkatan Darat merupakan momen yang meninggalkan bekas paling dalam diingatan saya bahkan hingga saat ini.